opini musri nauli : Kekayaan Jambi dari masa ke masa


Membicarakan Jambi harus dilihat dari pendekatan tipologi wilayah. Tipologi dataran tinggi, dataran sedang dan dataran rendah.

Tipologi wilayah Jambi memanjang dari Dataran tinggi dimulai Kerinci, sebagian hulu Sarolangun, Merangin, Bungo, kemudian membelah sumatera di dataran sedang (Bungo, Tebo dan Batanghari) dan dataran rendah di pesisir Pantai Timur Sumatera (Muara Jambi, Tanjung Jabung Timur dan Tanjung Jabung Barat). Dataran tengah Jambi kemudian masuk dalam barisan Bukit Barisan yang memanjang ditengah Pulau Sumatera dari Aceh hingga Lampung. Sedangkan dataran rendah di pesisir pantai Timur Sumatera merupakan kawasan gambut.

Tipologi ini kemudian dikenal sebagai Dataran tinggi sebagai penghasil utama kulit manis dan teh dan kemudian Karet dan dataran rendah menghasilkan pinang dan kelapa.

Tipologi ini selain menghasilkan berbagai hasil bumi juga menghasilkan sumber daya alam mineral seperti panas bumi, minyak, batubara dan emas.

Didataran Tinggi, Anugrah Kerinci sebagai penghasil “kulit manis”[1] telah dituliskan oleh Elizabeth Tjahjadarmawan, didalam bukunya “Cassiavera dari Kerinci Primadona Dunia”.  Kulit Kayu Manis adalah salah satu bumbu masakan tertua yang digunakan manusia. Bumbu ini pertama kali digunakan di Mesir Kuno sekitar 5000 tahun yang lalu, dan disebutkan beberapa kali di dalam kitab-kitab Perjanjian Lama.

Kulit Kayu manis secara tradisional juga digunakan sebagai Suplemen untuk berbagai penyakit, dengan dicampur madu, misalnya untuk pengobatan penyakit radang sendi, kulit, jantung dan perut kembung. 

Kulit manis juga ditanami di hulu kabupaten Merangin.

Selain ditanami kulit manis, Pemerintah Belanda kemudian mencanangkan tanaman teh di pusat onderneming di Pulau Sangkar dan Kayo Aro. Belanda serius “menanam teh” setelah harga kopi tidak stabil dan serangan penyakit tanaman kopi.

Kerinci yang masih termasuk kedalam Keresidenan Sumatera Barat, kemudian mengembangkan melalui perusahaan Belanda, NV. HVA (Namlodse Venotchhhaaf Handle Veriniging Amsterdam) pada tahun 1925[2].

Tahun 1932 Perusahaan NV. H V A sudah mulai menghasilkan teh Kayu Aro yang kemudian melegenda. Bahkan konon teh kayu aro merupakan bahan baku Teh Ty Poo, perusahaan Inggris produsen teh premium dunia yang terkenal di Inggris didirikan Sir John Jr. dan pemasok produk teh ke keluarga bangsawan di Eropa. Bukan hanya itu Ratu Belanda sejak Ratu Wihelmina, Ratu Juliana hingga Ratu Beatrix adalah penikmat teh kayu aro ini. Sehingga tidak salah kemudian, perkebunan teh seluas 3 ribu hektar di kayu aro merupakan perkebunan teh terluas dan tertua di dunia.  Hasil perkebunannya memberikan kontribusi 11,07% terhadap PRDB Provinsi Jambi pada tahun 2005.

Turun sedikit dari dataran tinggi, kita menuju ke dataran sedang yang terdapat di Kabupaten Merangin, Sarolangun, Tebo, Bungo dan Batanghari. Di daerah ini banyak dijumpai tanaman karet sebagai komoditas utama pertanian.

Sebagai penghasil karet, Jambi dikenal dari zaman Belanda hingga sekarang. Elsbeth Locher-Scholten menyebutkan benih tanaman ini awalnya diselundupkan dari Brasil ke Malaka pada 1890, dan kemudian diimpor oleh para pedagang Cina ke Sumatera (Jambi) dan Kalimantan. Karena kondisi ekologi dan struktur tanah Jambi yang baik dan subur, maka tanaman ini dapat tumbuh dengan mudah di mana saja[3].

Barulah diyakini memiliki prospek yang cerah di pasar dunia, Residen Jambi, Helfrich, sekitar tahun 1910-1912 menganjurkan budidaya tanaman ini secara massal, dan mendistribusikan benih-benih unggulan kepada rakyat. Pada 1918, tanaman ini telah menjadi primadona baru bagi orang Jambi. Mereka mulai mengalihkan sawah dan ladang menjadi perkebunan karet, bahkan kemudian menerapkan pertanian dengan sistem monokulltur, yakni hanya dengan menanam karet saja.

Pada periode 1925 – 1928 merupakan zaman kejayaan bagi petani karet Jambi, di mana harga karet ada mencapai angka tertinggi ƒ 52,50 setiap pikul (100 kg)[4].

Bahkan menjelang Kemerdekaan, ekspor karet Jambi ke Singapore mencapai 90.197 ton. Sedangkan luas tanaman karet pada tahun 1942 di Jambi mencapai 188.578 Ha. Angka ini melampaui ekspor dan luas tanaman karet dari daerah Riau Kepulauan, Bengkalis, Indragiri, dan. Sumatera Barat[5]. Bahkan Jambi merupakan daerah penghasil karet “runner up dari Hindia Belanda.

Kejayaan tanaman karet kemudian dikenal sebagai zaman kupon. Cerita “zaman kupon” ditandai dengan masyarakat yang memiliki karet dengan cara sistem penjualan karet dengan kupon. Belanda membeli getah melalui kupon. Jumlah kupon kemudian ditandai dengan jumlah batang dan hasil panen. Kupon merupakan salah satu alat tukar yang memiliki nilai tinggi dan dapat ditukarkan dengan kebutuhan sehari-hari di kampong.

Sebagai komoditas utama pertanian, perkebunan karet rakyat di Jambi mencapai 646.878 ha dan jumlah petani karet sekitar 251.403 KK dan produksi 225.702 ton per tahun[6].

Namun luas karet tergerus dengan sawit. Konversi karet dari sawit hingga mencapai
657 ribu ha (2013). Walaupun BPN sendiri sudah mensinyalir mencapai 1,2 juta ha. namun baru 487 ribu ha yang sudah menjadi HGU[7].

Di daerah hilir, pinang dan kelapa merupakan komoditas utama pertanian. Dengan perkebunan pinang seluas 5.898 ha dengan produktivitas 1.062 kg/ha/tahun, pinang merupakan primadona utama di masyarakat pesisir timur sumatera.

Selain pinang, masyarakat di daerah hilir pesisir Pantai timur Sumatera menjadikan kelapa sebagai primadona. Dengan luas kebun Kelapa mencapai 100 ribu hektar menghasilkan kopra rata-rata hanya 1,3 ton/ha/tahun dan mencapi 109.788 ton membuat ketergantungan dari 95.785 kepala keluarga (KK).

Dengan melihat primadona teh dan kulit manis di dataran tinggi, karet di dataran sedang dan pinang dan kelapa di daerah hilir pesisir pantai timur Sumatera, lalu mengapa Pemerintah masih sibuk “memberikan izin” seluas 1,07 juta hektar kepada batubara, 1,2 juta hektar untuk sawit dan 800 ribu untuk HTI ?


[1] Hingga tahun 2009 luas areal penanaman Cassiavera di Kerinci mencapai sekitar 41.825 hektar. Seluruh areal lahan Cassiavera di daerah lain dan belahan dunia masih jauh lebih kecil dibanding Kerinci. Namun menurut data resmi Pemerintah, luas kulit manis sudah mencapai 49.529 ha.
[2] Lihat ”Mededeelingen van het Bureu voor de Besteur van het Buitenbeziitingan Encylopaedea Bureu, NV “Papyrus “, Batavia, 1915,  hlm 67.
[3] Elsbeth Locher-Scholten, Kesultanan Sumatra dan Negara Kolonial – Hubungan Jambi – Batavia (1830-1907), 2008.
[4] Masa kejayaan karet ditandai dengan cerita di pelosok-pelosok kampong dari penutur orang tua. Mereka menyebutkan sebagai zaman “kupon”
[5] Provinsi Sumatera Tengah, Penerbit Kementrian Penerangan Republik Indonesia, 1952
[6] Pemerintah Provinsi Jambi, 2015
[7] Korsup Sawit KPK, Jambi, 12 April 2016

Pos terkait