Opini : Cengengesan dan Ketidakstabilan Emosional dalam Debat Cagub Jambi 2024

ketua forum masyarakat peduli pilkada jambi (fmp2j)
Syaiful Bakri, * Ketua Forum Masyarakat Peduli Pilkada Jambi (FMP2J). Foto: Istimewa

Oleh: Syaiful Bakri

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), istilah “cengengesan” merujuk pada perilaku atau sikap seseorang yang cenderung tertawa atau tersenyum lebar, biasanya dalam konteks yang kurang serius atau tidak pantas. Kata ini berasal dari kata dasar “cengeges” yang menggambarkan ekspresi wajah atau sikap yang terlihat ceria, tetapi mungkin tidak selalu mencerminkan keseriusan situasi.

Bacaan Lainnya

Secara umum, “cengengesan” bisa digunakan untuk menggambarkan seseorang yang terlihat senang atau riang, tetapi dalam konteks tertentu, bisa juga menunjukkan ketidakpedulian atau ketidakseriusan terhadap situasi yang sedang dihadapi.

Istilah “cengengesan” dapat diartikan sebagai refleksi sikap yang kurang serius atau tidak menunjukkan ketegasan dalam situasi yang seharusnya memerlukan perhatian penuh. Ketika debat kandidat Cagub Jambi berlangsung, sikap Al Haris yang lebih wibawa dan serius kontras dengan sikap RH yang cengengesan.

Cengengesan di sini dapat mencerminkan ketidakpedulian atau kurangnya komitmen RH terhadap momen penting seperti debat kandidat. Tindakan ini bisa diinterpretasikan sebagai sikap yang mengurangi kredibilitasnya di mata pemilih, terutama ketika visi dan misi yang diungkapkan adalah hal yang serius dan memerlukan pertimbangan mendalam. Dalam konteks ini, cengengesan bukan hanya menunjukkan ekspresi wajah, tetapi juga dapat dilihat sebagai indikator karakter dan kesiapan seseorang untuk memimpin.

Dengan demikian, perbedaan sikap antara Al Haris dan RH dalam debat tersebut menunjukkan bagaimana sikap cengengesan dapat memengaruhi persepsi publik dan bagaimana kandidat dipandang dalam kompetisi yang penuh tekanan seperti pemilihan gubernur.

Sikap cengengesan yang ditunjukkan oleh RH selama debat kandidat Calon Gubernur Jambi dapat dilihat sebagai indikasi kurangnya keseriusan. Dalam sebuah acara yang seharusnya menjadi ajang untuk menyampaikan visi dan misi dengan tegas dan jelas, cengengesan justru menciptakan kesan bahwa ia tidak menganggap penting momen tersebut. Hal ini bisa menjadi masalah, terutama ketika para pemilih mencari sosok pemimpin yang dapat diandalkan dan mampu menangani isu-isu krusial.

Ketidakseriusan ini berpotensi menurunkan kredibilitas RH di mata publik. Masyarakat akan meragukan komitmennya terhadap tanggung jawab yang diemban jika ia terpilih. Dalam arena politik, di mana setiap tindakan dan ekspresi diperhatikan, cengengesan bisa diinterpretasikan sebagai bentuk ketidakpedulian terhadap peran yang diharapkan dari seorang pemimpin. Sebuah debat bukan hanya tentang menyampaikan argumen, tetapi juga tentang menunjukkan rasa hormat terhadap audiens dan proses yang sedang berlangsung.

Sikap cengengesan ini juga dapat mengalihkan perhatian dari isi debat yang seharusnya lebih penting. Pemilih mungkin lebih terfokus pada ekspresi wajah dan perilaku RH ketimbang substansi dari visi dan misinya. Akibatnya, pesan utama yang ingin disampaikan menjadi kurang tersampaikan dengan efektif, yang pada akhirnya merugikan kandidat itu sendiri.

Lebih jauh lagi, cengengesan yang tampak tidak pada tempatnya bisa memberi sinyal tentang ketidakstabilan emosional. Dalam situasi yang penuh tekanan seperti debat, kemampuan untuk tetap tenang dan terkontrol sangatlah penting. Jika seorang calon tidak dapat mengelola emosinya dengan baik, hal ini bisa menimbulkan pertanyaan tentang kemampuannya untuk menghadapi tantangan yang lebih besar dalam posisi kepemimpinan.

Dengan demikian, sikap cengengesan selama debat tidak hanya berdampak pada persepsi publik terhadap RH, tetapi juga bisa berpengaruh signifikan terhadap hasil pemilihan. Dalam dunia politik, setiap momen sangat berharga, dan tindakan yang dianggap tidak pantas dapat memiliki konsekuensi yang luas.

Cengengesan, meskipun sering dianggap sebagai ekspresi keceriaan, dapat memiliki makna yang lebih kompleks, terutama dalam konteks ketidakstabilan emosional. Dalam situasi sosial yang menuntut keseriusan, seperti debat kandidat, perilaku ini bisa menunjukkan ketidakmampuan individu untuk mengelola emosi mereka dengan baik. Misalnya, seseorang yang terlihat cengengesan di saat-saat penting mungkin mengalami kebingungan atau ketidaknyamanan yang mendalam, yang membuat mereka tidak mampu merespons secara tepat terhadap situasi yang ada.

Ahli psikologi, seperti Paul Ekman, menjelaskan bahwa ekspresi wajah yang tidak sesuai dengan konteks dapat mencerminkan masalah emosional. Ketika seseorang tersenyum atau cengengesan saat situasi mendesak, hal ini bisa mengindikasikan bahwa mereka merasa tertekan atau bahkan cemas. Dengan kata lain, cengengesan bisa menjadi mekanisme koping untuk meredakan ketegangan, meskipun ekspresi tersebut tidak selalu diterima dengan baik oleh orang lain.

Terdapat beberapa penelitian dan pandangan para ahli yang mengaitkan sikap cengengesan dengan ketidakstabilan emosional. Meskipun tidak ada istilah khusus “cengengesan” dalam literatur psikologi, perilaku ini dapat dianalisis dalam konteks ekspresi wajah dan komunikasi non-verbal.

1. Ekspresi Wajah dan Emosi: Menurut Paul Ekman, seorang psikolog terkenal dalam studi emosi dan ekspresi wajah, ekspresi yang tidak sesuai dengan konteks dapat menunjukkan ketidakstabilan emosional. Jika seseorang tersenyum atau cengengesan saat situasi serius, hal ini dapat menandakan kebingungan, kecemasan, atau ketidaknyamanan dalam menghadapi situasi tersebut. Ekspresi yang tidak konsisten dapat menyebabkan kebingungan dan ketidakpercayaan dari orang lain.

2. Keterhubungan Emosi dan Perilaku: Penelitian dalam bidang psikologi menunjukkan bahwa ketidakstabilan emosional dapat mempengaruhi cara seseorang berperilaku dalam situasi sosial. Orang yang mengalami ketidakstabilan emosional sering kali menunjukkan perilaku yang tidak terduga atau tidak sesuai, seperti tertawa atau cengengesan di saat-saat yang tidak tepat. Hal ini bisa menimbulkan persepsi negatif terhadap kepribadian dan kemampuan individu tersebut.

3. Studi tentang Stres dan Respon Emosional: Penelitian menunjukkan bahwa individu yang berada dalam kondisi stres atau tekanan dapat menunjukkan perilaku cengengesan sebagai mekanisme koping. Dalam situasi di mana seseorang merasa terancam atau tidak nyaman, senyuman atau tawa bisa jadi merupakan cara untuk meredakan ketegangan, meskipun ini mungkin tidak dianggap sesuai dengan situasi.

4. Persepsi Sosial dan Ketidakseriusan: Dalam konteks sosial, sikap cengengesan yang berlebihan dapat memengaruhi bagaimana orang lain memandang seseorang. Studi menunjukkan bahwa perilaku yang tampaknya tidak serius dalam situasi formal, seperti debat politik, dapat menyebabkan orang lain meragukan kompetensi dan kredibilitas individu tersebut.

Di dalam konteks debat kandidat, seperti yang terjadi pada Al Haris dan RH, sikap cengengesan RH dapat menciptakan kesan kurang serius dan dapat merusak persepsi publik terhadap kemampuannya. Masyarakat cenderung mengaitkan perilaku ini dengan ketidakstabilan emosional, menimbulkan keraguan terhadap kredibilitas dan wibawanya sebagai calon pemimpin. Jika cengengesan tersebut muncul di tengah situasi yang seharusnya memerlukan konsentrasi dan kedalaman pemikiran, maka hal ini dapat menjadi sinyal bahwa individu tersebut tidak siap menghadapi tantangan yang lebih besar.

Oleh karena itu, sikap cengengesan bukanlah sekadar masalah ekspresi, tetapi mencerminkan kondisi emosional yang lebih dalam. Dalam konteks publik, perilaku ini dapat berisiko, tidak hanya bagi individu yang melakukannya, tetapi juga bagi cara orang lain melihat dan menilai mereka. Ketidakseriusan yang tampak dapat merugikan citra dan reputasi, serta berpotensi mengganggu hubungan sosial yang lebih luas. Oleh sebab itu, cengengesanlah pada tempat dan waktu yang tepat. (*)

* Ketua Forum Masyarakat Peduli Pilkada Jambi (FMP2J)

Pos terkait