Oleh: Yulfi Alfikri Noer S.IP., M.AP
Pada Pilkada serentak tahun 2024, Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDI Perjuangan secara resmi mengusung pasangan Al Haris dan Abdullah Sani sebagai calon gubernur dan wakil gubernur dalam Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jambi. Keputusan ini menandakan dukungan kuat partai terhadap pasangan yang memiliki pengalaman dan basis dukungan signifikan di Jambi, meskipun keduanya bukan merupakan kader PDI Perjuangan.
Al Haris, yang saat ini menjabat sebagai Gubernur Jambi, merupakan figur yang memiliki rekam jejak dalam pemerintahan daerah. Sementara itu, Abdullah Sani adalah tokoh yang dikenal luas di kalangan masyarakat Jambi, yang memberikan keseimbangan dalam pasangan ini dengan pengalaman politik dan pengaruhnya.
Dukungan PDI Perjuangan terhadap Al Haris dan Abdullah Sani di Jambi juga mencerminkan strategi partai untuk memperkuat posisi mereka di daerah tersebut. PDI Perjuangan, sebagai salah satu partai besar di Indonesia, tentu memiliki perhitungan politik yang matang dalam memilih calon yang dianggap mampu memenangkan pertarungan di Pilgub Jambi 2024.
Keputusan untuk mendukung pasangan ini menunjukkan bahwa PDI Perjuangan menilai keduanya memiliki peluang besar untuk mempertahankan atau bahkan memperkuat posisi mereka di Jambi.
Keputusan ini tampaknya juga dipengaruhi oleh kekuatan koalisi politik yang sudah terbentuk di sekitar Al Haris-Sani.
Jika calon tersebut telah mendapatkan dukungan luas dari partai-partai lain, PDIP mungkin merasa bahwa bergabung dalam aliansi yang kuat adalah strategi yang lebih aman daripada melawan arus. Hal ini bisa menghindari risiko kekalahan yang berpotensi timbul jika PDIP memutuskan untuk menentang calon yang sudah dominan.
Dukungan PDIP kepada pasangan Al Haris-Sani di Jambi, yang dikaitkan dengan ‘lawan kotak kosong’ sebelum adanya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 60/PUU-XXII/2024, dapat ditinjau dari berbagai perspektif yang mencerminkan dinamika politik di Provinsi Jambi.
1. Pragmatism vs. Ideological Consistency: PDIP melihat Al Haris-Sani sebagai calon yang paling kuat secara elektoral dan memiliki peluang besar untuk memenangkan pemilihan. Dalam konteks ini, dukungan PDIP bisa dianggap sebagai langkah pragmatis untuk tetap relevan dan memiliki pengaruh dalam pemerintahan lokal. Meskipun ini tampak kontradiktif dengan upaya PDIP di daerah lain yang justru mencegah terjadinya kotak kosong, keputusan tersebut mungkin didasarkan pada penilaian pragmatis yang berbeda-beda sesuai dengan konteks lokal.
2. Koalisi dan Kekuatan Politik Lokal: Di Jambi, PDIP bisa saja mempertimbangkan kekuatan koalisi partai-partai lain yang sudah memberikan dukungan kepada Al Haris-Sani. Dalam hal ini, PDIP memilih untuk tidak melawan arus politik yang ada, tetapi justru bergabung dalam aliansi yang lebih kuat untuk meminimalkan risiko kekalahan. Di daerah lain, kondisi politik lokal bisa berbeda, PDIP merasa lebih perlu untuk mengambil sikap yang lebih tegas dalam mempertahankan pluralitas pilihan di pemilu.
3. Strategi Jangka Panjang: Ada kemungkinan bahwa PDIP melihat dukungan kepada Al Haris-Sani sebagai bagian dari strategi jangka panjang untuk memperkuat jaringan politik mereka di Jambi. Dengan mendukung pasangan yang kuat, PDIP berharap dapat menanamkan pengaruh politik yang lebih besar di masa depan, meskipun harus mengorbankan konsistensi pendekatan mereka dalam jangka pendek.
4. Konteks Sosial dan Politik Lokal: Faktor lain yang perlu dipertimbangkan adalah konteks sosial dan politik lokal di Jambi. Ada kemungkinan bahwa PDIP menilai situasi di Jambi berbeda dari daerah lain, di mana skenario kotak kosong justru mungkin diinginkan oleh sebagian besar pemilih atau dianggap tidak merugikan proses demokrasi secara keseluruhan.
Keputusan PDIP di Jambi untuk mendukung Al Haris-Sani bisa juga mencerminkan dinamika internal partai dan kalkulasi politik yang lebih luas. Di beberapa daerah, PDIP mungkin menghadapi tantangan dari partai lain yang lebih kuat, atau memiliki kandidat potensial yang dianggap mampu memenangkan pemilihan tanpa harus memborong dukungan partai. Namun, di Jambi, strategi memborong partai dan menciptakan skenario lawan kotak kosong bisa jadi dilihat sebagai cara paling efektif untuk memastikan kemenangan, terutama jika lawan politik di daerah tersebut tidak cukup kuat untuk menghadirkan tantangan serius. Dalam konteks ini, dukungan ini bisa jadi merupakan investasi strategis yang lebih besar, meskipun tampaknya bertentangan dengan sikap PDIP di daerah lain yang lebih memilih untuk mencegah terjadinya kotak kosong.
Namun, pendekatan ini tentunya tidak lepas dari kritik. Mendukung calon yang mendominasi koalisi partai dan menciptakan skenario lawan kotak kosong dapat dianggap melemahkan semangat kompetisi politik yang sehat, serta mengurangi pilihan bagi pemilih. Ini bisa merusak citra partai sebagai pembela demokrasi dan keberagaman pilihan politik. Oleh karena itu, di daerah lain, di mana terjadi dinamika politik yang berbeda atau kebutuhan untuk menunjukkan peran oposisi yang kuat, PDIP memilih untuk menentang skema kotak kosong. PDIP memilih untuk menjaga keseimbangan dengan memastikan adanya kompetisi, demi mempertahankan citra sebagai partai yang demokratis dan menghormati proses pemilihan yang terbuka. Namun, di Jambi, di mana dukungan kepada calon yang kuat dianggap sebagai pilihan yang lebih bijaksana, PDIP tampaknya mengambil langkah pragmatis untuk memastikan posisi mereka tetap solid.
Fleksibilitas dalam pendekatan PDIP menunjukkan kemampuan mereka untuk menyesuaikan strategi mereka dengan konteks lokal. Di daerah lain, Keputusan ini juga bisa mencerminkan pertimbangan terhadap kepentingan nasional dan hubungan dengan pemerintah pusat.
Dukungan kepada pasangan yang kuat di Jambi bisa memberikan PDIP leverage dalam negosiasi politik yang lebih besar, atau setidaknya menjaga hubungan baik dengan pemimpin daerah yang berpengaruh.
Ini menunjukkan bahwa PDIP tidak hanya mempertimbangkan kepentingan lokal, tetapi juga bagaimana keputusan mereka bisa berdampak pada posisi mereka di tingkat nasional.
Secara keseluruhan, perbedaan strategi ini menegaskan bahwa dalam politik, tidak ada pendekatan yang seragam untuk semua situasi. Setiap keputusan diambil dengan mempertimbangkan berbagai faktor, termasuk dinamika lokal, kekuatan koalisi, dan tujuan jangka panjang. Fleksibilitas dan kemampuan beradaptasi menjadi kunci bagi PDIP untuk tetap relevan dan berpengaruh di berbagai konteks politik. Dengan menavigasi lanskap politik Indonesia yang sangat beragam, PDIP harus menyesuaikan pendekatannya berdasarkan kondisi lokal, kepentingan strategis, serta kebutuhan untuk menjaga keseimbangan antara pragmatisme politik dan komitmen ideologis. (*)
*Tenaga Ahli Gubernur Bidang Sumber Daya Manusia