Oleh : Musri Nauli *
Menurut kamus besar bahasa Indonesia , kritik adalah kecaman atau tanggapan, atau kupasan kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat dan sebagainya. Sedangkan arti kata berisik adalah ribut adalah ramai, ingar bingar suaranya. Dengan demikian maka ada perbedaan esensial antara kritik dan berisik.
Di dalam alam demokrasi, menyampaikan kritik dijamin konstitusi yang memberikan kebebasan berpendapat (freedoom of speech). Sebagai kebebasan berpendapat (freedoom of speech) maka terhadap para pengkritik tidak dapat dibenarkan untuk dijatuhi hukum.
Namun ketika hanya sekedar menghujat kemudian disandingkan dengan kata-kata sama sekali tidak memberikan kupasan atau tanggapan terhadap tema yang ditawarkan bahkan malah memberikan penilaian terhadap pribadi bukan Kebijakan ataupun perbuatannya maka dapat dikategorikan sebagai “menghina”. Yang kemudian sering juga disebutkan sebagai “fitnah”.
Didalam dimensi yang lain juga disebutkan sebagai kategori sebagai berisik. Asal bunyi (asbun). Sebuah ranah dan berbeda jauh antara kritik dengan berisik.
Didalam praktek peradilan, irisan ini tegas dinyatakan didalam berbagai putusan pengadilan. Antara kritik dapat dilepaskan dari tanggungjawab hukum. Sedangkan “menghina” memfitnah bahkan merendahkan pribadi seseorang malah dikategorikan sebagai perbuatan pidana. Dan pelaku dapat dikategorikan sebagai pelaku tindak pidana.
Sehingga terhadap ucapan, perkataan ataupun pandangan yang sama sekali tidak mencerminkan kritik terhadap tema-tema tertentu namun hanya menjurus kepada pribadi personalia seseorang tidak dapat dijamin sebagai hak kebebasan berpendapat (freedoom of speech). Sebuah hak yang dilindungi didalam konstitusi.
Lalu bagaimana memudahkan kritik tanpa harus “terjebak” didalam pusaran kasus pidana terutama dijerat dengan kata-kata menghina.
Pertama. Sampaikan kritik dengan memperbandingkan antara kinerja yang telah dilakukan dan memperbandingkan dengan tema yang lain. Dengan melihat perbandingan antara satu tema dengan tema lain maka kritikan akan Mudah ditangkap sebagai pembelajaran yang baik. Ditengah alam demokrasi sekarang ini tentu saja harus diletakkan didalam konteksnya.
Kedua. Hindarkan kata-kata yang tidak pantas ditengah masyarakat. Misalnya kata “Bodoh”, pandir, tolol didalam dialek sehari-hari hanya dapat disebutkan sebagai kata-kata “gurauan” yang hanya dimengerti dikalangan tertentu.
Namun ketika disampaikan didalam forum Terbuka dan kemudian dapat ditangkap publik secara berbeda maka maknanya kemudian dapat ditandai sebagai “penghinaan” terhadap pribadi. Dan itu Sudah termasuk kedalam ranah yang berbeda.
Selain hukum pidana yang akan bekerja untuk membuktikan dimuka persidangan, berbagai literatur bahkan mekanisme yang lain juga bekerja.
Didalam kaidah agama, kritik kepada Pemimpin harus disampaikan dengan baik. Entah disampaikan didalam forum-forum tertentu da disampaikan dengan kata-kata yang baik.
Tuntutan agama juga mengisahkan bagaimana Nabi Musa tetap mengedepankan adab didalam menyampaikan kepada Raja Fir’aun sekalipun.
Saya teringat dengan ujaran yang bijaksana. Menyampaikan sesuatu dengan cara-cara yang tidak baik selain akan mempermalukan seseorang juga bertendensi untuk mempermalukan maka tidak dapat dikategorikan sebagai kritikan. Tapi bertujuan untuk memalukan. Dan tuntutan agama telah mengaturnya dengan baik.
Selain itu hukum adat Melayu Jambi sudah menggariskan. Menghina seseorang dapat dikategorikan sebagai “Menyingsikan lengan. Menghentak bumi”. Termasuk kedalam rumpun Induk Delapan Anak Dua belas.
Kategori ini cukup berat. Apabila hanya ditujukan orang biasa yang dikenakan sanksi “ayam sekok. Beras segantang”, namun apabila ditujukan kepada orang yang lebih tua maka dapat dikateogikan sebagai “kambing sekok, beras 20 gantang”. Apabila ditujukan orang yang terpandang ditengah masyarakat, sanksinya cukup berat “Kerbo sekok. Beras seratus gantang”.
Seloko lain juga menyebutkan “keras tidak tertarik. Lembut dak tesidu. Cacah dalam tekurung. Buanglah ke arus yang mendengung. Buanglah ke bungkul nan piawai. Digantung dak betali. Berbantal bane. Bebapak kepada rimau. Beinduk kepada Kuaow. Menyerahkan buntang kepada Langau. Ada juga yang menyebutkan Seloko ”Bebapak pado harimau, Berinduk pada gajah. Berkambing pada kijang. Berayam pada kuawo”. Ada yang menyebutkan “Bapak pado harimau, Berinduk pada gajah, Berkambing pada kijang, Berayam pada kuawo”, atau “tinggi tidak dikadah. Rendah tidak dikutung. Tengah-tengah dimakan Kumbang” atau “beumo jauh betalang suluk, beadat dewek pusako mencil”.
Ada juga yang menyebutkan “digantung tinggi, dibuang jauh”, “tinggi tidak dikadah. Rendah Tidak dikutung”, ”Bebapak pado harimau, Berinduk pada gajah atau Berkambing pada kijang. Berayam pada kuawo”.
Kategori ini dikatakan berat sebagaimana seloko “ingkar kepada negeri. Serah kepado Rajo” atau beumo jauh betalang suluk, beadat dewek pusako mencil” atau “Gajah yang begading. Rimau yang bebelang dan ombak yang bederuh”.
Dengan demikian berbagai panduan yang mengatur perilaku ditengah masyarakat bertujuan agar dapat menciptakan agar masyarakat menjadi tertib. (*)
* Penulis ialah pengacara tinggal di Jambi dan Direktur Media Haris Sani