Cerpen : Hadiah

Cerpen Ika
Ika Y. Suryadi. Foto : Istimewa

Cerpen : Hadiah

Oleh Ika Y. Suryadi

Bacaan Lainnya

Tepat pada tahun 1980, di hutan rimba Sumatra. Si Penebang itu mendapat hadiah yang mengejutkan, yang tidak akan ia lupakan selamanya.

Cerita bermula ketika istrinya, Asih, merengek minta hadiah berupa ongkos untuk pulang kampung ke Jawa. Katanya, ia kangen tanah kelahirannya. Si Penebang merasa permintaan istrinya terlalu berat. Tetapi Asih adalah perempuan yang ia bawa merantau dari tanah Jawa ke Sumatra. Wanita itu lahir dari dalam cangkang kerang di pesisir pantai, yang pantasnya ia berkilau. Sementara si Penebang, lahir dari kayu yang bapaknya dulu tebang.

Mungkin setiap orang memiliki ukuran berbeda tentang hadiah apa yang membuatnya senang—uang, makanan, pakaian, atau kebebasan. Si Penebang ingin memberi hadiah untuk istrinya, meskipun itu adalah kehilangan. Telah terhitung sebulan, si Penebang memutuskan untuk kembali masuk hutan itu, setelah menghindarinya selama bertahun-tahun. Mencoba melupakan sepasang mata menyala, yang pernah ia temukan di tempat itu.

“Ini pohon akasia, yang ini pohon jati,” kata bapaknya begitu ia berhenti berlari-lari mengejar kelinci liar, waktu itu.

“Mereka sama besar, tetapi kok yang ini lebih mahal?” kata si Penebang Kayu kecil, sambil menuding sebuah pohon yang menjulang di depannya.

Pohon itu berwarna cokelat dengan sedikit abu-abu di tubuhnya. Usia pohon itu pastilah telah tua, melihat besar diameter tubuhnya, juga kekarnya akar yang menancap ke dalam tanah.

Bapak hanya tersenyum. Lalu ia mengelus kepala Penebang Kayu—ia merasa elusan itu masih terasa sampai sekarang—dan berkata, “Kau bahkan lebih kecil dariku. Tetapi mengapa ada yang rela mati untukmu. Bukankah itu mirip?”

Si Penebang Kayu yang belum pandai memegang kapak itu hanya menatap bapaknya yang sedang berkata soal nilai dan besar sebuah benda, tetapi ia belum juga mengerti apa maksudnya. Lantas ia memilih kembali berlari di sekitar hutan. Sampai bapaknya berpesan jangan jauh-jauh, jangan sentuh apa pun, jangan makan apa pun. Tetapi si Penebang Kayu itu telah tenggelam dalam kemeriahan hutan bersama cericit burung, tupai yang jarang terjatuh, capung yang asyik sendiri, dan bunga-bunga liar. Sampai akhirnya ia mendengar teriakan dari arah Bapak bekerja.

Susah payah Si Penebang Kayu berlari menyusul. Napasnya pendek. Lalu semakin pendek ketika ia melihat seekor harimau menancapkan taringnya di pundak Bapak. Matanya nyalang dan marah. Ketika mata harimau itu berpindah ke arah Penebang Kayu, hewan itu memasukkan kembali taringnya, lalu pergi begitu saja meninggalkan si Penebang Kayu yang gemetar, dan Bapak yang sudah tak sadarkan diri.

Dengan cepat, Penebang Kayu itu menghambur ke arah Bapak. Ia memandangi lekat bapaknya. Dan di pundak Bapak, selain sejarah hidupnya, di sana telah mengalir sungai merah ke tanah-tanah, dan juga daging yang mencuat dari baju putih Bapak yang koyak-moyak.

***

Sebenarnya menjadi penebang kayu bukanlah pekerjaan satu-satunya. Pun dia seorang penebang kayu amatiran yang tidak terlalu cakap. Jari telunjuk kanannya cacat bekas ulahnya sendiri saat menebang kayu. Kadang-kadang ia menjadi pemorot kolam ikan, pemetik kelapa jika masa panen tiba, pemancing ikan di sungai dan menjualnya di pasar, atau kuli bangunan yang membangun ruko-ruko.

Tetapi bulan ini, tetangganya mengajaknya bekerja di Perusahaan Tripa sebagai penebang kayu, juga seseorang yang bertugas mencari sumber minyak dan gas dengan masuk ke hutan-hutan Sumatra.

Si Penebang Kayu ingat, selain rasa kangen Asih pada kampung halamannya, putrinya sebentar lagi mesti mengenyam pendidikan, sehingga ia setuju untuk menjadi karyawan kontrak tiga bulan di perusahaan pengebor minyak.

“Untuk apa kau melingkari kalender itu?” Yanto, teman kerjanya, bertanya padanya di sulur jalan kecil yang seminggu lalu mereka buat.

Sepagi ini, para karyawan mulai berjalan menuju lokasi pengeboran. Penebang Kayu menenteng kalender yang telah ia gunting foto Iis Dahlia-nya. Dan meninggalkan wajah artis itu di dalam kamp.

“Aku ingin menghitung kapan bisa izin pulang dari manda,” jawab si Penebang Kayu.

Ia bertekad akan pulang sebentar, jika upahnya telah cukup untuk ongkos pulang Asih, juga biaya sekolah putrinya.

Yanto hanya tersenyum dan menepuk bahunya. “Ayo lekas! Hati-hati, ini hutan.”

Si Penebang Kayu berjalan pelan di belakang punggung kawan-kawannya. Ia melipat potongan kalendernya, lalu kembali berjalan membawa peralatan pengeboran. Sesekali tangannya menyibak batang belukar atau gulma yang menjulur mengganggu mata.

Tiba-tiba ia mendengar sebuah rengekan (dan pastilah bukan rengekan Asih) yang memaksanya berhenti. Dengan pelan si Penebang Kayu berjalan. Ia ingat, selain bisa bertemu siapa saja, Yanto juga pernah berkata ia bisa mendengar suara apa saja. Barangkali suara itu adalah suara hantu.

Mata dan telinganya mengembara sampai ia tiba di sebuah lubang besar bekas pengeboran. Lubang itu telah menjadi kolam yang keruh dan bergelombang dari arah tepinya. Seekor anak harimau berusaha memanjat dinding kolam, tetapi ia telah jatuh berkali-kali. Tubuhnya gigil dan basah. Dua kaki depannya menancap, menggapai-gapai, sementara dua kaki belakangnya berayun dan mendorong-dorong.

Tubuh si Penebang Kayu berdesir seketika. Ingatannya berkejaran pada peristiwa bertahun-tahun silam. Seekor harimau telah menyerang Bapak, dan meninggalkannya sebagai anak yatim piatu. Hari itu, semua warga memukul kentongan karena salah satu dari mereka yang biasa menebang pohon di pinggir hutan sambil menyapih anak semata wayangnya, tak pulang-pulang.

Waktu itu si Penebang Kayu menangis sesenggukan sambil menggoyang-goyangkan badan Bapak. Tetapi berapa kali pun ia mencoba, Bapak tidak bangun-bangun juga.

Sambil mengenang, si Penebang Kayu melangkah ke tepi kolam. Memandang lekat ke dalam mata anak harimau. Mata yang dingin dan ketakutan. Si Penebang lantas menggulung celana hingga lututnya, lalu menceburkan diri ke kolam. Alih-alih langsung mengangkat anak harimau ke atas, dia justru memeriksa alat kelaminnya.

Seekor anak harimau betina. Usianya mungkin sekitar dua bulan. Dan pastilah ia rindu induknya. Akan tetapi, pastilah ia akan menjadi induk juga suatu hari nanti. Induk yang sama sintingnya dengan harimau yang membunuh bapaknya.

Si Penebang berpikir lamat-lamat. Akan ia apakan anak harimau itu? Ia bisa saja melumpuhkan anak harimau itu dengan menjinakkannya. Haruskah ia membuka sirkus dan menjadikannya simbol raja hutan yang bisa dikangkangi. Jika terlalu merepotkan, dia juga bisa menjual hewan itu ke pasar gelap setibanya di kota. Toh anak hewan itu akan lupa pernah berinduk.

Atau ia mampusin saja? Meskipun anak harimau adalah seekor anak. Akan tetapi dahulu seekor harimau buas yang membunuh bapaknya tanpa sebab, juga pernah menjadi seekor anak. Dan seekor betina? Barangkali dia pun akan menjadi perempuan tega seperti Asih. Tak sanggup miskin, lalu minta duit untuk ongkos pulang kampung. Meninggalkan suami dan anak di kota terpencil.

Jenis makhluk-makhluk sinting. Dan saat ini, ia pun juga bisa berbuat sinting.

Pos terkait