“Kayaknyo senang nian kau hari ni,” kata Ayah saat kami merokok bersama setelah mandi.
“Tadi rame, aku biso ngasih duit banyak untuk Ibu,” kataku.
“Taik kaulah, hari panas mano ado orang jalan-jalan ke danau.”
“Percayo payo, dak sudah,” kataku sambil lalu. Kutuju dapur untuk mengambil singkong goreng buatan Ibu.
“Bilang samo Abdul, Ayah jugo ngasih duit ke Ibu. Dak payah dio nitip-nitip duit untuk Ibu kau!” teriak Ayah dari depan.
Oh, namanya Abdul. “Mano ado dio nitip duit. Itu duit akulah, hasil jago parkir.”
“Ditambahinyo, Bengak. Dio tu kan dulu naksir Ibu kau jugo. Tapi kalah cepat samo Ayah.” Si gila itu tertawa.
Setelah mencomot dua potong singkong yang kubawa, kutinggalkan Ayah dengan tawanya yang menyebalkan. Ibu menggantikan posisiku, menemani suaminya yang pulang tadi memberinya segepok uang belanja.
Di kamar, kupandangi lemari pakaian, tempat aku menyimpan cincin pemberian Datuk. Orang tua itu tak datang. Kudekati lemari, masih aman. Mumpung ia tak menakut-nakuti, lebih baik kubuka sekarang cincin itu. Aku ini remaja, penuh rasa penasaran.
Di bawah kotak ado caro makainyo, tapi jangan beritahu siapo pun, jangan kasih liat orang lain. Kau biso kehilangan kesaktiannyo, malah kehilangan cincin itu. Jago baik-baik, jangan pake kalo belum dibutuhkan nian! Kalimat Datuk terngiang di benakku. Bayangannya sendiri tak hadir.
Kukunci pintu kamar, agar Ayah atau Ibu tak masuk tiba-tiba. Kuberanikan diri mengambil kotak cincin di dalam lemari. Kutepuk pelan, kuelus lembut. Tak terjadi apa-apa.
Pelan-pelan kubuka kotak itu, sebuah cincin ukuran dewasa lekat pada dudukannya. Kuangkat cincin bersama tatakannya, terdapat lipatan kertas di bawah sana. Dadaku berdetak keras. Refleks tanganku menutup kotak itu.
Ayah sedang baik, tak perlu dibunuh, kataku pada diri sendiri.
Angka covid masih tinggi, tapi orang-orang sudah lelah menahan diri tetap di rumah. Pagi-pagi Ayah dan Ibu sudah pergi, entah ke mana. Menyimak pembicaraan mereka semalam, sepertinya Ibu hendak belanja bahan kue dan mungkin dalam beberapa hari lagi mereka akan kembali duet jaga parkir dan jual makanan.
Aku terlalu bahagia hari ini, sampai tak terpikir bahwa aku harus naik ojek menuju Danau Sipin, karena sepeda motor hanya ada satu. Aku akan punya ponsel! Aku bisa ikut belajar.
Kukenakan pakaian terbaik, bisa jadi nanti aku harus melakukan panggilan video ke guru. Sisa uangku hanya cukup untuk ojek, mudah-mudahan Om Abdul mau meminjamkan untuk beli kuota. Membantu anak mantan tak boleh tanggung-tanggung.
Kubuka kotak cincin dari lemari pakaian. Datuk tetap tak datang, jadi dengan tenang kukenakan cincin itu.
“Aku butuh cincin ini sekarang, Tuk! Untuk gaya,” kataku pada angin.
Lalu sebentar saja aku sudah berada di Danau Sipin, menyambut ponsel pintar bekas anak Om Abdul. Lengkap dengan nomor dan kuotanya! Aku bersyukur bertemu dengannya, jika perlu jadi anaknya saja.
Tapi belum lama kunikmati kebahagiaan hari ini, tiba-tiba Om Abdul mendatangiku dengan raut panik.
“Ayah samo Ibu kecelakaan, Zul!” katanya dengan suara parau.
Akhirnya aku menangis juga, tangis yang berbeda dengan yang bulan-bulan lalu kutahan. Bahkan aku pun menangisi rencana-rencana yang sudah berkali kususun untuk Ayah.
Dalam perjalanan menuju rumah sakit, kugosok keras-keras cincin Datuk. Aku ingin Ayah dan Ibuku tetap hidup, biarlah mereka bertengkar setiap hari dan aku dihantui kakek-kakek tua itu! Tapi hingga jariku panas, tak juga muncul makhluk apa pun. Ingin kubuang cincin tak berguna itu, saking aku muak.
“Cincin siapo tu Zul?” tanya Om Abdul.
“Punyo almarhum Datuk,” jawabku sesenggukan.
Om Abdul malah menepikan motornya. “Coba tengok!” katanya.
Kuangsurkan jariku pada Om Abdul.
“Emas kayaknyo ini Zul. Ado suratnyo dak?”
“Surat apo, Om?”
“Wadahnyo ado di rumah?” ditanya malah bertanya.
“Ado,” jawabku.
Lalu Om Abdul membawaku pulang, bukannya menuju rumah sakit. Ia ingin melihat kotak cincin itu. Di sepanjang perjalanan, dua sisi hatiku berdebat. Yang satu mengingatkanku akan pesan Datuk, satu lagi mengajakku diam karena harus memikirkan Ayah dan Ibu.
Datuk mengadangku di pintu. “Jago baik-baik, jangan pake kalo belum dibutuhkan nian!” katanya tegas.
“Ini sudah kupake, Tuk!” kataku pelan sambil memperlihatkan jariku padanya.
“Ngapo, Zul?” kata Om Abdul. Setengah berlari ia menarikku menerobos ke dalam rumah. Datuk tertembus begitu saja.
“Om!” aku menahan tangannya. Ia terhenti. “Pesan Datuk, jangan dipake kalo belum dibutuhkan nian.”
“Sekarang kito butuh nian, Zul!” untuk pertama kalinya teman Ayah membentakku.
Agak ragu kuberikan juga kotak cincin Datuk, berharap ia tak datang dan melihat pengkhianatanku. Sambil berlari Om Abdul menarikku lagi. Kini kami ngebut ke rumah sakit, lalu aku ditinggalkannya di UGD. Sementara ia sendiri pergi bersama kotak cincin Datuk, lengkap dengan isinya.
Kakiku lunglai, tapi hatiku mengajak segera. Apakah orang tuaku sudah terbujur di kamar jenazah? Tapi kemudian, untuk pertama kalinya aku begitu bahagia mendengar suara tawa yang kukenal.
“Datang jugo kau, Monyet! Lamo nian.” Ayah tertawa menyambutku.
Ibu di sebelahnya, juga dalam keadaan tak terlalu parah. Beberapa luka nampak di tubuh mereka, tapi orang tuaku masih bisa ngobrol dengan ceria. Sekarang pikiranku beralih ke cincin Datuk. Betul kata orang tua itu, jika diketahui orang, cincin itu akan hilang. Hilang diambilnya!
“Kau ngapo malah menung? Kesal yo Ayah masih hidup? Kau maunyo Ayah mati bae kan?” tiba-tiba kegilaan Ayah kambuh lagi. Aku terlalu pusing memikirkan cincin.
Kubiarkan Ayah dengan mulut beracunnya. Tak kutanya di mana motor kami, yang penting ibuku selamat. Apa lagi yang kupunya di dunia ini selain Ibu? Ketika kemudian dokter menyilakan mereka pulang, aku dan Ayah berpandangan. Kami sama-sama tak punya uang untuk ongkos. Dompet Ayah jatuh di TKP.
“Eh, dak parah yo?” tahu-tahu Om Abdul muncul, ketika kami berjalan dalam hening keluar rumah sakit.
“Babi kau! Samo bae dengan anak aku. Sekongkol jangan-jangan kalian ini?”
“Kusepak gek mulut kau, Setan! Aku baru jual cincin anak kau untuk bayar berobat kamu laki-bini,” jawab Om Abdul tak kalah sengit. Ia lalu menoleh padaku. “Maaf, Zul. Cincinnyo Om jual. Kan laki-laki dak boleh pake cincin emas.”
“Oh. Terus apo isi kertas di bawah kotak tu, Om?”
“Itu kwitansi lah. Kau dak pernah beli emas yo?”
“Ngomong apo kalian ni?” Ayah mulai beringas lagi.
“Idaklah,” aku dan Om Abdul menjawab serempak.
Kemudian Om Abdul berinisiatif memanggil mobil pikap carteran yang sedang parkir, untuk mengantar kami pulang ke rumah. Ibu dan aku duduk di samping sopir. Om Abdul dan Ayah duduk di bak belakang. Datuk nyempil di antara mereka, sambil tertawa-tawa. (***)
Biodata Penulis
Nama : Syarifah Lestari
Kelahiran : Jambi, 1984