Dulu kami hidup berkecukupan, kalau aku tak salah ingat. Ketika aku masih SD, dan Datuk masih hidup, makan sehari-hari bukan masalah. Aku masih punya mainan dan buku yang dibelikan Datuk. Buku! Barang yang tak pernah disentuh Ayah dan Ibu.
Datuk, ayah dari Ibu, adalah pensiunan pegawai negeri. Konon dulunya beliau tidak mau menerima Ayah menjadi menantunya, karena Ayah tak bisa mengaji. Tapi dengan berbagai siasat, akhirnya Ayah dan Ibu menikah juga.
Menjelang aku tamat SD, Datuk wafat. Kala itu Ayah sudah tidak bekerja di PT, tapi harta peninggalan Datuk masih bisa menopang hidup kami. Aku masuk SMP, sekolah seperti biasa. Hidup lancar-lancar saja.
Menjelang selesai SMP, segala barang Datuk habis. Termasuk tanah dan rumah di tempat lain, semua ludes dijual Ayah dengan alasan untuk sekolahku dan hidup kami. Syukurlah aku masih sempat masuk ke SMA. Tapi Ayah dan Ibu kerap bertengkar meributkan harta yang sudah tinggal kenangan itu.
Terpikir olehku untuk menitah makhluk apa saja yang bersemayam di cincin peninggalan Datuk, agar membunuh Ayah. Tapi pada momen tertentu, Ayah menjadi sangat baik. Jiwa kebapakannya muncul ketika ia punya uang. Berbeda jauh dengan ketika uangnya menipis atau tak ada sama sekali, kucing lewat pun bisa dihajarnya.
Ditambah lagi, ketika aku membuka kotak cincin Datuk, orang tua itu seolah muncul di hadapanku dan melarangnya. Selama Ayah dan Ibu bertengkar, Datuk seolah menjaga cincinnya agar tak kubuka. Kadang ingin kumaki orang tua itu, untuk apa memberi jika tak boleh kupakai. Aku membutuhkannya sekarang!
Kemudian Ayah mendapat pekerjaan, menjadi juru parkir. Ibu ikut menambah pemasukan dengan menjual kue-kue buatan tangannya. Aku turut bahagia melihat rumah kami tenang lagi, Ayah dan Ibu tak bertengkar, dan Datuk tak perlu muncul untuk menjaga cincinnya.
“Zul, kasih kertas ke ayuk tu! Om mau ngarahin mobil yang baru masuk,” titah teman Ayah sembari memberi kartu parkir padaku, dan menjauh menuju parkiran mobil.
Aku mematuhi instruksi tanpa menjawab.
“Ayah marah terus, Tuk! Bawa bae dio mati samo Datuk. Lempar ke nerako,” kataku pada Datuk yang tengah membaca koran.
“Anak kurang ajar kau!” jawab Datuk tanpa menoleh.
“Datuk enak, dak merasokan. Aku tiap hari dibentak, Ibu nangis sampe bengkak matonyo. Anak Datuk, anak perempuan satu-satunyo. Dak beguno nian menantu Datuk tu, kenapolah dulu diterimo. Sudah tahu dak biso ngaji, bisonyo marah samo bercarut.”
Tak kudengar jawaban dari Datuk. Ketika kudekati, ia tak bergerak. Kemudian koran itu kusibak dengan kesal, lalu nampaklah wajah Datuk. Muka itu gosong. Bola matanya mencuat keluar, lidahnya terjulur. Aku berteriak sekuat tenaga.
“Ngapo, Njing? Bangun!” suara Ayah menyelamatkanku. Meski dipanggil anjing, setidaknya aku bisa keluar dari mimpi sialan itu.
“Zul …,” terdengar suara Ibu dari kamarnya.
“Mmm,” kujawab dengan gumam.
“Tidur sini bae, samo Ibu,” tawarnya.
Peduli apa dengan Ayah, kubiarkan ia melotot saat kulewati. Kubaringkan tubuh di sebelah Ibu, bahkan memeluknya.
“Mimpi apo, Nak?” tanya Ibu.
“Datuk.”
“Kenapo Datuk?”
“Daklah, sejak meninggal Datuk memang sering datang ke mimpiku.”
“Tapi keadaannyo baik, kan?” Ibu mengangkat kepalanya, melihat lurus padaku. “Datuk kau orang baik, dak mungkin jadi hantu.”
“Dak taulah, Bu. Kadang bukan cuma di mimpi. Datuk pernah duduk di tempat tidur aku, pernah tegak dekat lemari sambil mandangin aku.”
“Itu khayalan kau be, Bengak!” suara Ayah terdengar dari luar kamar.
Ibu mendengus tertahan.
“Datuk sering datang kalau Ayah samo Ibu bertengkar,” bisikku pada Ibu. “Kadang biaso-biaso be, kadang kayak setan.”
“Pasti Datuk kau datang kalo kau lagi stres. Itu bawaan pikiran kau, makonyo kerjo tu yang ikhlas. Bukan untuk siapo-siapo kito begawe ni, untuk kaulah!” suara Ayah menggelegar lagi.
Dalam hitung-hitunganku, kalau kami sama-sama tanpa senjata, pertarunganku dengan Ayah pasti imbang. Dia dewasa, tapi menuju tua. Aku remaja dengan tenaga penuh. Tapi kalau salah satu dari kami mati oleh yang lain, bagaimana perasaan Ibu?
Ibu memelukku, “Tidurlah! Dak usah didengar omongan orang gilo tu.”
“Iyo, aku memang gilo! Dari dulu aku gilo. Sudah tau miskin, melamar anak orang kayo. Tapi mau jugo kan kau dengan orang gilo ni?” kurasa suara Ayah tak hanya terdengar oleh kami, tapi juga para tetangga.
Aku menimbang-nimbang, racun apa yang bisa dimasukkan ke dalam kopi. Atau kugosok-gosok cincin Datuk, agar jinnya keluar dan memberiku tiga permintaan.
Belum lagi terpejam, Datuk muncul di belakang punggung Ibu. Si tua tolol itu hanya memandangiku. Dia kira aku paham apa maksud tingkah konyolnya.
“Makan, Zul! Jangan menung-menung, gek dibawa antu aek.” Teman Ayah terkekeh. Satu bungkus nasi diangsurkannya padaku.
Kami menikmati nasi padang di atas salah satu ketek. Hari terlampau panas, tak ada yang datang ke Danau Sipin. Jadi kami memutuskan menaiki salah satu perahu yang tertambat. Teman Ayah pastilah mengenal siapa pemiliknya.
“Apo kabar Ibu?” tanya teman Ayah.
“Baiklah, Om.”
“Ayah ado ngasih duit dak ke Ibu?”
“Dak tau, Om, tapi aku ngasih kok.”
“Yo haruslah. Ayah kau tu sahabat Om waktu kecil. Kami lahir dari sinilah,” teman Ayah menunjuk pinggir danau dengan dagunya.
“Tapi Om baik, Ayah ndak,” kataku.
“Jangan gitu. Ayah tu baik, dio dak sekolah makonyo perangainyo kayak gitu. Itulah Om kesal dengar kau dak sekolah. Cukuplah kami yang hidup dan besak di jalan. Dak tentu mano benar mano salah, yang penting makan.”
Kulihat sekilas mata teman Ayah berkaca-kaca. Aku pura-pura khusyuk pada nasi bungkus. Padahal pikiranku terfokus pada air di kanan kiri kami. Berapa dalamnya danau ini? Bagaimana kalau Ayah kudorong ke sini.
“Jangan bilang Ayah yo. Anak Om minta hape baru, tapi Om tengok hape dio sebenarnyo masih bagus. Mau dak kau pake bekas anak Om tu untuk sekolah? Belajarnyo di sini bae.”
Belum lagi suaraku keluar, ekspresiku barangkali sudah menjawab lebih dari kata ‘ya’. Teman Ayah tersenyum melihat wajahku.
“Besok Om bawa, kau harus sekolah!”
Seharian Datuk tak datang, entah dalam bentuk hantu atau orang biasa. Jangan-jangan ayahku yang gila itu benar. Nyatanya ketika hatiku senang, tak ada hantu yang mengikutiku.