Cerpen : Cincin dari Datuk
Syarifah Lestari
“Jago baik-baik, jangan pake kalo belum dibutuhkan nian!”
Aku tersentak bangun. Peluh membanjiri dahi dan beberapa lipatan tubuhku. Aku bukannya baru saja bermimpi buruk, bahkan sepertinya aku tidak bermimpi. Itu kejadian nyata, tapi lima tahun silam!
Belakangan Datuk sering datang dalam tidurku. Kadang berupa kenangan, kadang mimpi yang menakutkan. Tapi topik mimpinya tak jauh-jauh dari warisan yang ia berikan padaku. Sebuah cincin.
Tak ada yang tahu perkara cincin itu, kecuali aku sendiri. Datuk memberikan saat beliau mulai sakit-sakitan. Ketika Ayah dan Ibu sedang tidak di rumah.
“Jangan beritahu siapo pun, jangan kasih lihat orang lain. Kau biso kehilangan kesaktiannyo, malah kehilangan cincin itu,” pesannya. Lalu disusul kalimat yang selalu diulang Datuk ketika hadir kembali setelah kematiannya. “Jago baik-baik, jangan pake kalo belum dibutuhkan nian!”
“Zool! Cepat mandi, cari makan kito lagi!” Ayah berteriak dari dapur.
“Aku belajar online dulu, Yah. Kagek kususul yo!” balasku setelah beranjak dari tempat tidur.
“Belajar belajar apo, dakdo lagi orang sekolah! Kalo dak jugo kau berangkat, kubikin mati kau!” teriak Ayah lagi sembari masuk ke dalam kakus.
Begitulah Ayah sejak pandemi. Selalu marah, padahal aku anak satu-satunya, yang di rumah orang lain mungkin akan dimanja dan dimenangkan segala maunya.
Kulongok Ibu di kamar, beliau masih berbaring mesti matanya jelas terbuka. Biasanya pagi-pagi begini Ibu sudah membawa kuenya ke depan Gentala, ada saja yang mampir untuk membeli sarapan. Jika sudah agak siang, pengunjung berdatangan untuk swafoto. Ada pula yang baru sampai dari menyeberangi Sungai Batanghari lewat jembatan pedestrian.
Ayah menjadi juru parkir dan sesekali menyeberangkan orang dengan ketek pinjaman dari Wak Samsul. Tapi sejak covid-19 merebak, pengunjung Gentala Arasy berkurang jauh. Kalaupun ada yang datang, mereka jarang membeli kue Ibu. Mungkin khawatir tak higienis.
Sebagai remaja, aku sudah bisa memahami. Ibu dan Ayah demikian, karena mereka stres menghadapi ujian massal ini. Jika kuingat-ingat, sebenarnya mereka baru saja hendak pulih dari tekanan ekonomi. Setelah sebelumnya Ayah dipecat dari perusahaan karet tempat beliau bekerja.
Pada akhirnya aku ikut dengan Ayah, berboncengan sepeda motor tak jelas juntrungan. Katanya mau ke Gentala, tapi terus lanjut ke pasar, kemudian lanjut lagi hingga ke Danau Sipin. Mungkin di sana lebih ramai, tebakku.
“Dak sekolah kau, Zul?” tanya salah seorang teman Ayah.
“Dak ado yang sekolah gara-gara korona ni!” Ayah yang menjawab.
“Dah lah, jago parkir di sini be. Di sini lumayan rame, tapi kalo jualan belum biso, orang bawa makanan dewek-dewek,” teman Ayah menjelaskan.
Selang setengah jam ngobrol, Ayah pindah ke tempat parkir bagian lain kawasan wisata Danau Sipin. Aku ditinggal bersama temannya, menjaga area parkir yang pertama kami datangi.
“Kau dak punyo hape, yo?” tanya teman Ayah, saat kami sama-sama duduk di salah satu pondok. Mungkin tak lazim baginya melihat remaja duduk tanpa memegang gawai.
“Dak, Om. Kalo punyo sudah aku pake belajar online lah,” jawabku.
“Berarti sekolah tu.”
“Iyo, sebenarnyo sekolah. Tapi hape dibawa Ayah, mungkin dak ado kuotanyo jugo.”
“Ai kasian nian. Hari gini janganlah anak dak sekolah. Kagek kubilang Ayah kau!”
“Jangan, Om. Malah keno marah nanti aku di rumah.”
Teman Ayah memandangiku. Nampak jelas rasa iba di wajahnya, tapi aku tak menyukai itu. Kalau perempuan, sudah sejak bulan lalu aku menangis. Tapi kutahan hingga hari ini.