Cerpen Monas Junior: Kita Semua Anak-anak

Ilustrasi cerpen lagi
Ilustrasi cerpen

Cerpen Monas Junior: Kita Semua Anak-anak

Gedung sekolah MAN Cendekia 2 lantai di kota ini sedang sepi. Proses belajar mengajar masih online sejak pandemi melanda. Tak ada sesiapa. Lapangan basket yang biasanya dijadikan pelataran parkir dan dipenuhi motor para siswa, sekarang terlihat kotor dengan dedaunan menyampah di atasnya.

Bacaan Lainnya

Pagi itu Pak Sumir, penjaga sekolah yang berbaju kaos putih celana panjang hitam, bersendal jepit, terlihat berjalan ke tepi lapangan basket. Di tangan kanannya sapu lidi, di tangan kiri tong sampah warna abu-abu. Ia mulai membungkuk ketika sebagian besar sampah dedaunan beterbangan ditiup angin.

Baru dua kali sapuan, Pak Sumir tertekun. Ia berdiri, lalu menatap tajam ke arah jendela salah satu kelas di depannya. Keningnya berkerut, matanya menyepit, pelan-pelan diletakkannya sapu lidi dan tong sampah itu di lantai.

Ada bayangan hitam bergerak-gerak di dalam kelas itu! Ia bertanya-tanya, siapa kira-kira yang ada di dalam sana. Siswa, guru atau mahluk halus?

Bukannya takut, Pak Sumir berjalan pelan ke arah kelas itu.

Sesampai di dalam kelas, ia kaget melihat seorang siswa yang tingginya 168 cm, sedang berdiri menatap papan tulis. Siswa itu mengenakan pakaian bebas. Baju kaos coklat lengan pendek berkerah, celana levis biru, bersepatu kets. Rambutnya lurus sebahu, terurai begitu saja.

“Dek? Kamu ngapaian ke sini? Kan belum sekolah tatap muka?”

Siswa itu tak kalah kaget ditegur Pak Sumir. Wajahnya tampan, kulit putih, hidung mancung, wajah tirus, persis bintang korea.

“Tak apa, Pak. Saya cuma rindu sekolah. Lagi bayangin ngerjakan tugas di papan tulis,” tuturnya, lembut.

“Ada-ada aja kamu, Firdaus.” Pak Sumir ngakak. Firdaus siswa kelas 12 MAN itu ikutan tertawa.

“Iya, Pak. Capek juga libur kelamaan. Bapak lagi, apa?”

“Oh, lagi bersih-bersih lapangan.”

“Ya sudah, saya bantu, ya, Pak.”

“Eh, ndak usah Daus. Kamu pulang aja, kan belum sekolah.”

“Sudah, ndak apa-apa, Pak. Ayok.”

Firdaus melewati Pak Sumir yang berdiri tak berdaya di ambang pintu, ketika Daus berjalan cepat ke arah lapangan basket.

Jadilah Pak Sumir dan Firdaus membersihkan lapangan basket dengan ceria. Firdaus yang lucu, Pak Sumir yang hobi ngakak, membuat sekolah yang sepi menjadi ramai di pagi itu.

Mereka terus menyapu dan membersihkan sampah di lapangan hingga tengah hari, sampai akhirnya Firdaus pamit pulang ke Pak Sumir.

Pak Sumir menatap punggung anak muda itu sambil geleng-geleng kepala.

Betapa tidak, tiga tahun bersekolah di sini, Pak Sumir adalah orang paling dekat dengan Firdaus. Ia sangat mengenal anak satu itu. Daus sering menghabiskan waktu berbincang-bincang dengannya ketimbang siswa lain.

Tetapi anehnya, ia jadi pangling setiap kali memperhatikan Firdaus bergaul dengan kawan-kawan di sekolah. Anak itu malah cenderung tertutup dan tak banyak bicara. Ia malah menjadi salah satu siswa yang paling misterius.

Bersama dirinya, Firdaus sangat riang dan penuh guyonan. Dengan yang lain, pendiam dan terkesan culun.

Pak Sumir menghembuskan nafas berat setelah memikirkan keunikan karakter Daus.

*

Tiga bulan kemudian, di sore hari, siswa MAN Cendekia dikumpulkan di ruang pertemuan. Semua diwajibkan hadir untuk mendengarkan ceramah Ustadz Ayub, salah seorang penceramah kondang di kota ini.

Karena pandemi mereda, sekolah tatap muka sudah boleh lagi dilaksanakan. Tetapi tetap menerapkan aturan prokes yang ketat. Karena itu, sekolah ini sudah ramai dengan siswa dan guru.

Satu per satu siswa masuk ke ruang cukup besar itu. Mereka penasaran apa yang akan disampaikan Ustadz Ayub. Ruangan jadi riuh. Suara decit kursi-kursi yang digeser, ocehan-ocehan puluhan siswa, membuat suasana benar-benar gaduh.

Di bagian depan duduk di kursi: ada Kepala Sekolah Pak Yudi, Wakil Kepala Sekolah Bu Risna, dan seorang pria bertubuh ramping, pakai kopiah hitam, baju batik lengan panjang, bersarung, diam terpaku menatap kegaduhan di ruangan itu.

Setelah hampir 15 menit, akhirnya suasana mereda dengan sendirinya. Bahkan sekarang mulai hening.

Pak Yudi mulai membuka acara. Memperkenalkan Ustadz Ayub kepada para siswa, dan menyampaikan tujuan diadakan acara ceramah kali ini.

“Jadi diharap anak-anak untuk diam, dengarkan, pahami dan pelajari apa yang akan disampaikan Ustadz Ayub nanti. Paham….”

“Paham….!” jawab siswa MAN Cendekia, kompak.

“Baiklah. Waktu dan tempat saya persilakan kepada Pak Ustadz.”

Ustadz Ayub mengangguk, berdiri lalu meraih mic yang diberi Pak Yudi.

Baru saja mic itu mendekat ke bibirnya, Uztads Ayub tertegun. Tubuhnya kaku. Matanya melotot ke arah dinding bagian belakang siswa.

Di matanya, ia melihat ada cahaya yang menyilaukan. Bersinar kuat tetapi membawa efek dingin, bukan panas seperti yang biasa dipaparkan matahari. Cahaya itu terkumpul di satu titik, bahkan berbentuk tubuh manusia.

Ustadz Ayub masih terpana. Mulutnya bahkan kini menganga dengan mic yang tiba-tiba tanpa sadar terjatuh dari tangannya.

Efek storing dari mic membuat siswa yang ada dalam ruangan jadi terkejut dan berbalik ke arah belakang. Mereka menatap mata Ustadz, lalu menoleh ke belakang, menatap lagi lalu menoleh lagi. Semua mencari tahu apa yang sedang dipandang ustadz itu.

Belum tuntas penasaran para siswa, tiba-tiba Ustadz Ayub berjalan cepat ke arah para siswa yang sedang duduk lesehan. Ia melewati barisan siswa hingga akhirnya berhenti tepat di depan Firdaus.

Tak hanya itu, Ustadz Ayub meraih tangan kanan Firdaus, lalu menciuminya seperti seorang murid pengajian sedang mencium tangan gurunya.

Anak-anak MAN yang ada di dalam ruangan langsung terpana. Mereka tak percaya apa yang sedang dilihat. Mereka juga bertanya-tanya apa yang sudah diperbuat Firdaus sampai akhirnya Ustadz itu menciumi tangannya? -Itu karena mereka tak melihat apa yang ustadz lihat-

Mereka melihat Firdaus menarik tangannya, lalu memeluk Ustadz Ayub dengan lembut.

“Kita semua anak-anak, ustadz…” bisik Firdaus di telinga Ustadz Ayub.

Setelah itu ia melepas pelukannya. Kemudian melangkah cepat meninggalkan ruang pertemuan yang penuh dengan orang yang penasaran itu.

Sepeninggal Firdaus, ruangan masih hening. Semua jadi kikuk. Pak Yudi mencoba mencairkan suasana dengan menyusul Ustadz Ayub. Lalu ia menyarankan agar Ustadz itu kembali duduk di depan.

Namun sang ustadz sudah kehilangan semangat untuk meneruskan.

“Siapa nama anak itu?”

Ustadz bertanya kepada kepala sekolah.

“Firdaus, Ustadz.”

Ia mengangguk. Lalu minta maaf dan mohon pamit. Pak Yudi hanya bisa pasrah ketika Ustadz itu menghilang dari hadapannya.

Sore itu, semua jadi penasaran dengan Firdaus, anak pendiam yang misterius itu.

*

Habis Magrib, Ustadz Ayub termenung di atas sajadah. Ia masih kepikiran Firdaus. Berkali-kali wajah remaja yang bertubuh penuh cahaya itu terbayang di matanya.

Ia bahkan sudah bertanya ke ustadz-ustadz lain dengan pengalaman gaib yang dialaminya. Namun para sahabat mengaku tak pernah bersentuhan langsung dengan apa yang diceritakan Ayub. Sehingga mereka kurang paham. Bahkan tak tahu apa yang harus dilakukan.

“Kita semua anak-anak, Ustadz…”

Kata-kata Firdaus itu juga terus terngiang-ngiang di telinga Ayub. Apa maknanya?

Sekian tahun berguru agama, bertahun-tahun di Mesir, hari ini Ayub dibuat kosong. Ia seketika hampa. Ilmunya tak cukup mencapai fenomena bertemu dengan Firdaus, sang remaja MAN itu.

Malam itu, Ayub menutup ibadahnya dengan dzikir yang banyak. Dan tertidur dengan bibir tersenyum damai.

Usai sholat Subuh, Ayub memacu mobilnya ke MAN Cendekia. Ia menjumpai Pak Sumir yang sedang membuka gerbang sekolah.

“Pak, kenal Firdaus? Siswa di sekolah ini?”

“Yang mana?”

Ustadz menjelaskan ciri-ciri Firdaus yang ia maksud. Pak Sumir langsung tersenyum lebar.

“Kenal lah. Dia anak baik.”

“Di mana rumahnya?”

Pak Sumir terdiam. Berpikir. Lalu…

“Tidak tahu.”

“Baiklah. Kalau orang tuanya, Bapak kenal?”

Lagi-lagi Pak Sumir diam.

“Tidak kenal.”

“Oke. Bagaimana kalau kawan akrabnya.”

Pak Sumir kembali berpikir. Kali ini agak lama.

“Rasanya, dia tak punya kawan akrab. Anak itu pendiam sama orang. Tapi akrab sama saya.”

“Loh, kalau akrab, kok Bapak ndak tahu latar belakangnya?”

“Lah, iya juga sih.”

Pak Sumir menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

“Ya sudah lah, Pak. Saya pamit. Assalamulaikum.”

“Waalaikumsalam.”

Ustadz Ayub jalan lagi. Ia menyetir dengan pikiran yang penuh rasa penasaran. Tetapi karena masih ada agenda lain, ia mencoba melupakan sesaat tentang Firdaus.

Setengah jam perjalanan, Ayub berhenti di depan masjid. Parkir. Kemudian berjalan cepat ke dalam masjid yang sudah dipenuhi orang-orang pengajian.

Baru saja mengijakkan kaki kanan di lantai dalam masjid, Ayub kaget lagi melihat cahaya yang menyilaukan. Persis seperti di MAN Cendekia itu. Cahaya yang silau tapi menyejukkan.

“Firdaus!”

Ustadz Ayub tak bisa menahan diri. Ia tak sengaja meneriakkan nama anak yang sedang dicarinya itu.

Orang-orang yang ada dalam masjid langsung menoleh ke arahnya.

“Pak Ustadz…”

Suara di balik jamaah pengajian itu terdengar menyahut.

Benar saja, itu adalah Firdaus.

Ayub berlari ke dalam dan hendak menyusul tempat Firdaus duduk tenang di tengah-tengah jamaah lain.

Namun seorang pria berpeci haji menghentikannya. Lalu mengajaknya ke luar masjid.

“Tenang, Tadz. Tunggu di sini dulu.”

“Tapi…”

“Sabar. Tunggu saja.”

Meski kesal karena langkahnya dihentikan, Ayub memaksakan diri untuk mengalah. Ia duduk di lantai teras masjid. Pria berpeci haji itu kembali masuk ke dalam masjid, meninggalkan Ayub yang menenangkan diri.

Setelah menanti hampir sejam, akhirnya pria itu kembali menemui Ayub.

“Bagaimana, ustadz?”

“Saya… Kiyai… Saya…”

“Cahaya? Damai? Sejuk? Menenangkan? Firdaus?”

Ustadz Ayub mengangguk cepat.

“Kita semua anak-anak, ustadz…”

“Hah! Itu…”

Pria berpeci haji yang dipanggil Kiyai itu mengangguk pelan.

“Jiwa kita semua sangat suci. Persis seperti anak-anak. Polos. Tanpa dosa. Dan dicintai Allah…”

Ustadz Ayub diam, mencoba mencerna.

“Anak-anak. Polos. Suci. Dicintai Allah…”

“Ya…” Kiyai mengangguk lagi. Kali ini dihiasi senyum tipis.

Ayub ikut mengangguk, pura-pura mengerti.

Ia disarankan pulang oleh Kiyai. Ayub menurut. Lalu pergi meninggalkan masjid itu dengan pikiran yang berkecamuk.

“Kita semua anak-anak yang polos, tanpa dosa dan dicintai…” bisik Ustadz Ayub, sesaat sebelum ia tenggelam di balik setir dan padatnya arus lalu lintas kota.(*)

* Monas Junior adalah nama pena dari Alpadli Monas. Penulis yang juga jurnalis Jambi. Karyanya berupa kumpulan Cerpen “Aum” (2001), Harimau Sumatera (2002), Apa yang Kau Lihat (2012). Juga menerbitkan novel berjudul “Pemburu Emas: Lengenda Bermula” (2018).

Sumber: Jambiseru.com

Pos terkait