Opini Jambi Oleh Farah Sari : Represi Rezim Iringi Permendikbud Liberal

Oleh: Farah Sari, A. Md *

Angsoduo.net – Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 itu juga menuai kritik, sebagaimana diberitakan Kompas.com, Jumat (12/11/2021).

Beberapa kalangan ada yang menilai Permendikbud Ristek ini melegalkan seks bebas. Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan (Diktilitbang) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah menilai aturan tersebut berpotensi melegalkan zina.

Menurut, Ketua Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah Lincolin Arsyad salah satu kecacatan materil ada di Pasal 5 yang memuat consent dalam frasa ”tanpa persetujuan korban”.

Maraknya problem seksual yang sedang terjadi di negeri ini adalah fakta yang tidak terbantahkan. Bahkan kondisi ini tidak hanya menimpa Perguruan Tinggi (PT) saja, tapi juga merambah pada semua lini kehidupan. Tataran keluarga, sekolah dan masyarakat secara luas.

Tentu kita sepakat bahwa problem seksual ini harus diselesaikan dengan tuntas. Agar tidak kembali terjadi dan kehidupan bisa berjalan dengan baik penuh ketenangan dan kebahagiaan. Sehingga membutuhkan solusi tuntas. Dan solusi yang diambil harus berpijak pada pandang yang benar terhadap fakta kerusakan, latar belakang dan analisis munculnya kerusakan dan solusi yang sahih (benar).

Pertanyaannya, mampukah Permendikbud Ristek Nomor 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi (PT) menyelesaikan problem seksual di PT? Sesungguhnya problem seksual ini tidak terbatas pada pemerkosaan saja. Masih ada problem perzinahan, perilaku seksual menyimpang dan lain sebagainya? Kenapa permendikbud ini hanya melihat problem hanya pada kekerasan seksual saja? Tidak menyoroti maraknya zina dan LGBT yang juga melanda PT?

Lalu bagaimana kesempurnaan syariat islam mencegah dan menangani semua problem ini? tidak hanya di PT tapi juga dalam kehidupan masyarakat secara luas.

Pasal Kontroversi, Beraroma Liberal (kebebasan)

Pasal yang menuai kontroversi dalam Permendikbud PPKS ada pada Pasal 5. Terdapat 21 jenis kekerasan seksual (poin a sampai u) di antaranya: memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan korban; mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban; mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban; menyebarkan informasi terkait tubuh dan/atau pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban; menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh korban tanpa persetujuan korban; membuka pakaian korban tanpa persetujuan korban. (jdih.kemdikbud.go.id).

Pada Pasal 5, kata “tanpa persetujuan korban” diulang beberapa kali. Inilah yang menuai kontroversi. Lalu bagaimana jika hal tersebut terjadi dengan persetujuan korban? Tentu tidak bisa dimasukkan dalam definisi kekerasan seksual. Kemudian apakah jika dengan persetujuan korban tidak ada masalah? Karena suka sama suka (zina) Apakah ini berarti diperbolehkan terjadi di PT?

Wajar jika masyarakat menolak Permendikbud Ristek ini, apalagi jika dia seorang muslim. Karena cakupan pembahasan problem seksual dalam aturan ini hanya sebatas adanya indikasi paksaan (pemerkosaan). Sedangkan problem seksual lainnya tidak dibahas. Masih ada masalah perzinahan, penyimpangan perilaku seksual (LGBT). Hal ini tidak disinggung sama sekali. Seolah bukan menjadi masalah. Padahal bagi seorang muslim ini juga masalah yang harus diatur sesuai tuntunan syariat. Pada faktanya kedua hal ini juga menimbulkan kerusakan ditengah-tengah msyarakat.

Allah Swt berfirman: “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra: 32)

Meski terdapat pasal kontroversi dan menuai penolakan dari berbagai kalangan, Permendikbud Ristek ini tetap akan dijalankan. Terdapat sanksi tegas bagi PT yang tidak mau menjalankannya.

Rezim Represi Anti Kritik

Menurut KBBI Represi dimaknai dengan (menekan, mengekang, menahan, atau menindas). Sikap anti kritik yang ditunjukkan rezim terhadap pihak yang kontra dengan permendikbud ini mengindikasikan bahwa rezim bersifat represi. Tidak menerima pendapat dari pihak lain. Dan menggunakan berbagai cara agar aturan tersebut bisa diterapkannya. Seperti berikut ini. Ada sanksi yang sudah menunggu PT yang tidak melaksanakan permendikbud tersebut. Pada akhirnya dengan berbagai pertimbangan bisa jadi PT harus melaksanakan karena terpaksa.

Dari laman detik news.com (5/11/21) Mendikbudristek Nadiem Makarim menegaskan ada sanksi bagi pihak yang melanggar Permendikbudristek nomor 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi. Salah satunya adalah penurunan akreditasi kampus.

Sanksi bagi pihak perguruan tinggi itu tertera dalam Pasal 19 Permendikbud Ristek Nomor 30 tahun 2021 pada pasal 19: Perguruan tinggi yang tidak melakukan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual dikenai sanksi administratif berupa: (a). penghentian bantuan keuangan atau bantuan sarana dan prasarana untuk perguruan tinggi dan/atau (b). penurunan tingkat akreditasi untuk perguruan tinggi.

Sanksi bagi PT ini menunjukkan bahwa Permendikbud Ristek ini tidak hanya mendorong liberalisasi (kebebasan) dalam pergaulan di PT namun jg menegaskan represi Rezim agar semua institusi PT mengikuti tanpa ada celah mengkritisi.

Butuh Islam Sebagai Solusi

Kita pasti sepakat bahwa segala bentuk kerusakan dalam pergaulan (interaksi) laki-laki dan perempuan harus dicegah dan dan ditangani dengan benar. Namun berharap Permendikbud Ristek ini sebagai solusi adalah hal yang tidak mungkin. Terlebih Permendikbud Ristek ini cacat bawaan, karena lahir dari paham sekuler liberal (memisahkan agama dari kehidupan dan menjunjung kebebasan). Paham ini lahir dari akal manusia yang lemah dan tidak memiliki standar tentang benar salah dalam menyolusi persoalan.

Jika pemerintah serius menuntaskan akar masalah kerusakan ini, sekaligus mewujudkan tujuan pendidikan yang ideal, semestinya tidak berpikir parsial. Kasus kekerasan seksual tidak bisa dipandang sebagai kasus tunggal. Ia adalah cabang dari penerapan sistem yang memang tidak mungkin melahirkan kebaikan. Maka sistem rusak tersebut harus diganti dengan sistem islam. Karena penerapan aturan islam dalam sistem pergaulan akan mampu menyelesaikan hal tersebut.

Beberapa aturan pergaulan dalam islam:

Pertama, larangan campur baur antara laki-laki dan perempuan bukan mahram ‘ikhtilath’.

Imam Bukhari meriwayatkan dalam At-Tarikhul Kabir dari Ibnu umar Radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Janganlah kamu masuk masjid dari pintu wanita.” Campur baur yang bebas antara laki-laki dan perempuan, seperti yang dibiarkan tumbuh subur dalam sistem kapitalis liberal, menjadi salah satu pemicu kasus perzinaan.

Kedua, melarang khalwat, yakni laki-laki berduaan dengan perempuan yang bukan mahramnya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Janganlah seorang laki-laki itu berkhalwat (menyendiri) dengan seorang wanita kecuali ada mahram yang menyertai wanita tersebut.” (HR Bukhari dan Muslim). “Ingatlah, bahwa tidaklah seorang laki-laki itu berkhalwat dengan seorang wanita kecuali yang ketiganya adalah setan.” (HR Ahmad, At-Tirmidzi dan Al-Hakim).

Ketiga, perintah untuk menutup aurat. “Wahai Asma! Sesungguhnya wanita jika sudah balig, maka tidak boleh tampak dari anggota badannya kecuali ini dan ini (beliau mengisyaratkan ke wajah dan telapak tangan).” (HR Abu Dâwud, no. 4104 dan al-Baihaqi, no. 3218)

Keempat, memerintahkan kepada seorang muslim untuk menjaga pandangan ‘ghadlul bashar’.

Dalil kewajibannya terdapat di dalam Alquran surah an-Nuur ayat 30-31, demikian juga terdapat dalam hadis Rasulullah Saw., seperti: “Wahai Ali, janganlah engkau mengikutkan pandangan (pertama, yang tidak disengaja- pen.) dengan pandangan (kedua, yang disengaja- pen.), karena sesungguhnya engkau berhak pada pandangan pertama, tetapi tidak berhak pada pandangan yang akhir”. (HR Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Al-Hakim. Lihat Shahih Al-Jami’ush Shaghir, no. 7952).

Kelima, memerintahkan perempuan muslimah pergi safar sehari semalam disertai mahramnya.

Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda, “Tidak halal bagi seorang wanita muslimah, bersafar yang jauhnya sejauh perjalanan sehari semalam, kecuali bersama lelaki yang merupakan mahramnya.” (HR Muslim no. 1339).

Keenam, perintah segera menikah bagi pemuda yang sudah mampu dan menyuruh untuk berpuasa bagi mereka yang belum mampu.

Anjuran ini terdapat dalam hadis Rasulullah Saw.: “Barang siapa yang mampu untuk menikah, maka menikahlah. Karena itu lebih akan menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barang siapa yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa itu bagaikan kebiri.” (HR Bukhari dan Muslim).

Ketujuh, Islam memerintahkan individu muslim menghiasi dirinya dengan ketakwaan (QS al-Ahzab[33]: 70).

Menurut Syekh Taqiyuddin an Nabhani dalam kitabnya an Nizham al ijijtima’iy fii al Islam, tatkala seorang muslim memiliki sifat takwa, pasti ia akan takut kepada Allah SWT, akan mendambakan surga-Nya, sekaligus sangat ingin meraih keridaan-Nya. Ketakwaan ini akan memalingkan seorang muslim dari perbuatan mungkar dan akan menghalanginya dari kemaksiatan kepada Allah SWT seperti berzina.

Kedelapan, negara wajib menyelenggarakan pendidikan berbasis akidah Islam dan mengajarkan pengetahuan hukum syariat kepada peserta didik.

Pendidikan merupakan hak seluruh rakyat dan menjadi kewajiban negara untuk menunaikannya secara baik. Sistem pendidikan berbasis akidah ini akan melahirkan individu yang kuat imannya, penuh ketakwaan pada Allah SWT, dan sungguh-sungguh dalam beramal ketaatan sebagai bukti keimanan yang diyakininya. Produk pendidikan Islam adalah munculnya generasi umat yang menjadikan Islam sebagai standar dalam perbuatannya.

Kesembilan, negara wajib menerapkan sistem pergaulan Islam.

Yakni yang akan memberlakukan ketentuan syariat dalam interaksi di masyarakat. Seperti kewajiban menutup aurat, larangan khalwat, larangan ikhtilat tanpa hajat syar’i, dll.. Negara juga wajib menyediakan Qadli hizbah yang akan bertugas di tempat-tempat umum untuk memastikan tidak adanya pelanggaran hukum. Jika ada kasus pelanggaran, maka petugas ini akan segera menyampaikan sanksi sesuai ketentuan hukum syara’.

Kesepuluh, negara wajib menjamin kesejahteraan rakyatnya.

Di antaranya memastikan kepala keluarga memiliki pekerjaan layak untuk memenuhi kebutuhan nafkah keluarganya. Dalam kondisi ini, para ibu tidak akan dituntut ikut bekerja membantu mencari nafkah. Mereka akan memiliki waktu yang cukup untuk melaksanakan peran utama sebagai ibu pendidik anak-anaknya. Juga akan hadir mendampingi dan menjaga mereka dari setiap ancaman bahaya.

Negara wajib memastikan tidak adanya konten-konten media yang merusak akidah dan merusak akhlak masyarakat. Seperti kemusyrikan, sepilis (sekularisme, pluralisme, dan liberalisme), juga pornografi dan pornoaksi. Negara pun akan bertindak cepat memberi sanksi pada siapa pun yang melanggar

Kesebelas, negara menerapkan sanksi tegas sesuai ketentuan syariat terhadap pelaku maksiat.

Pelanggaran berupa zina akan dikenakan sanksi rajam bagi pelaku yang sudah pernah menikah, dicambuk dan diasingkan untuk pelaku yang belum pernah menikah. Pembuat dan penyebar konten-konten porno akan diberikan sanksi ta’zir yang jenisnya ditentukan berdasarkan pendapat Khalifah.

Hanya sistem Islam yang mampu menutup problem seksual dan rusaknya sistem pergaulan hingga ke akar karena tegak di atas akidah yang benar dan melahirkan aturan yang benar. Islam tidak membiarkan manusia hidup bebas. Akidahnya justru menuntut mereka dengan hukum syariat. Baik dalam kehidupan individual, masyarakat, hingga bernegara. (*)

*) Farah Sari ialah penulis dan juga aktivis dakwah Islam, tinggal di Kota Jambi. FB : farahu azzahra, IG : farahuazzahra

Sumber : Jambiseru.com (Network)

Pos terkait