Puisi Alexander Robert Nainggolan : “Fragmen-fragmen Januari”

ilustrasi. source : satupena.id

Puisi Alexander Robert Nainggolan

Fragmen-fragmen Januari     

hari menyembul bagai tunas muda. matahari cerah menerawan telanjang. kerumun lelah, setelah menghitung waktu dari desember yang telah kalah. masih berpijar bekas sinar dari kembang api, menjeritkan sepi atau bekas kesedihan di tahun lama. namun siapakah yang sebenarnya telah baru dan putih? ketika tanggal satu berputar dan hujan tertinggal di halaman rumah. saat ingatan terasa pudar dan usia berkurang pelan-pelan.

aku mengingat lagi tentangmu. apa yang seseungguhnya tersisa. membenahi apa saja yang terlupa. tapi cuaca kerap tak diduga. hujan berhamburan di beranda tahun, seperti menata kembali percakapan yang pernah samar terdengar.

*

januari menyembul. seperti tunas daun. hijau muda.

2019

Liburan

semua orang berkemas, melingkari kalender dan membawa sepi dalam ransel. sebuah peta, kota-kota berkemilau cahaya. berdesakan di jalan, dan menyimpan kerumun hujan. maka dikunjungi pula tempat-tempat jauh, hijau rumputan dan biru lautan. menyimpan pendar bahagia di retina mata, melupakan umpat atau letih dari waktu tempuh. mendadak merasa tubuh tak lagi utuh.

aku berkerumun. menjadi sebuah titik yang terhimpit. terkunci di jalan raya dan meninggalkan jejak bahagia di media sosial. merayakan swafoto dengan senyum yang ceria.

lalu liburan usai. kembali masuk dengan tertib, berkemas dalam rutinitas. mengejar mesin absen dan menghitung kalender lagi. merencanakan perjalanan baru.

2019

Tempurung

“semestinya engkau berani untuk pergi ke luar. menyimak tabiat dari kota besar yang hingar…”

tapi selalu ada tudung tempurung, di kepalamu. seperti topi yang tak mampu menyembunyikan sedih dan rasa panas. engkau memilih untuk bersetia tinggal di tabung kaca. merasa bangga dengan menepuk dada sendiri. dan sebegai lelai sesungguhnya engkau telah mati suri. membiarkan dirimu terus besar serupa gajah namun terjebak dalam kesepian yang telah menjadi pagar. semakin kau usik, nyalimu makin terjepit. engkau tak percaya ada keabadian baru, yang dibangun oleh orang di luar sana. seperti narsisus, ruang singgahmu hanya memantulkan gambar wajah, yang semakin dibelah terus terpecah. ah…

2019

Telepon Pintar

di dalam telepon pintar, tiba-tiba kautemukan dirimu sendiri. berlari dan mencari tempat sembunyi. dari segala kerumunan data seperti anak kecil yang bermain petak umpet. kau terkurung namun takjub pada pijar cahaya pendar dari layar. seseorang mengirimi pesan, menguncimu dengan kesedihan yang tak pernah mampu kauduga waktunya untuk datang.

namun telepon pintar itu tak juga berkabar. tentang doa-doa yang alpa dipanjatkan sepanjang hari. seketika lebur dan gugur. mencacahmu dalam rimbunan teks pesan atau deretan angka. ihwal jadwal yang terpenggal. lalu kau merasa dirimu sendiri, melintasi stasiun demi stasiun waktu. yang semakin menyepi dan sendiri.

2019

Laptop

ia membuka laptop-nya seperti daun  pintu. rindu dan kenangan berkubang. menelusuri kembali setiap folder yang berisi file kesedihan. dadamu berdegup saat ia menyala kembali, memberitahukan tanggal dan jam yang pernah tertinggal tanpa sempat dimatikan.

ia merasa dirinya seperti bawang merah. mengelupaskan tubuhnya satu per satu. pedih di mata tanpa pernah tahu apa penyebabnya. esok, sebagaimana hari sebelumnya– laptop itu terbuka lagi. ingatan masuk dengan tergesa. semacam angin yang menelentarkannya di suatu tempat tanpa sempat menyebut alamat untuk singgah.

2019

Di Rumahku

di rumahku, percakapan terus mengalir serupa sungai. sesekali aku ingin duduk termenung, tertenung desau angin yang mendorong arus ke tempat lebih rendah. atau saat ia tenang, aku akan memancingnya memunguti ikan-ikan kecil dan besar dan mengumpulkannya ke dalam keranjang kenangan. alirannya terus saja menjauh, begitu jauh– tak pernah usai kukayuh hingga ke tepi. kerapkali aku mengambang dalam sejumlah kisah. mengerami telur-telur ingatan sampai menetas.

di rumahku, anak-anak menggambar ruang tamu dengan warna cerah. menitipkan coretan dinding dengan gambar hati. seketika aku ingin berlibur. menyimak dan menyibak onak atau semak yang mereka rajut. sebelum mimpi terserap luntur di kamar tidur.

di rumahku, kata-kata tak pernah senyap. video dan lagu dari sosial media berjalan di sepanjang ruang. melepaskan setiap beban sunyi dari kerutinan.

2019

Matahari di Bulan Januari

pada bulan kelahiranmu, matahari masih berbagi cahaya. meski sesekali mendung terkurung di jalanan. hujan seperti kerubungan semut, berbaris di dalam genangan. dan tubuhmu yang mekar, berbagi ingatan pada letih kelahiran. garba ibu yang membuka pintu agar matahari menelusuri lembab tubuhmu. di kota orang-orang jarang bertukar kabar. menyibukkan diri dengan letih kemacetan yang menyerpih.

ah, masih ada matahari untuk mengusir dingin hujan!

sudahlah, rayakan saja hari lahirmu. tiup lagi lilin itu, berulang kali.

2019

Caritas Romana *

air susu yang putih. payudara yang penuh. rasa lapar yang menggelepar. geletar ingin. tapi darahku adalah satu. maka isap dengan sungguh, aku akan memenuhi dahaga. agar lapar pergi menjauh. bukankah telah juga kaususui aku di masa kecil, ayah?

air susu yang murni. air mata yang bening. duka hening. jangan lagi menangis, ayah! lembab jeruji mendingin. aroma lapar dari tubuh gemetar. maka aku bawakan susu ini untuk tubuhmu. agar tak ada kisah berkabung. biarkan aku kerap berdengung  agar tetap menjadi gadis kecilmu, ayah.

2019

* Kisah teladan seorang wanita, Pero yang diam-diam menyusui ayahnya, Cimon, setelah dia dipenjara dan dijatuhi hukuman mati karena kelaparan

Suatu Hari di Bulan Januari

bayangan hujan. kota yang berlumer cahaya. jalanan yang terus ramai. degup jantung yang terkunci. nyali yang kian menepi.

aku berjalan sendirian. sepanjang ruang. pantulan cahaya di etalase kaca. silau menembus ingatan lampau.

2019

Pleonoxia

mulutmu mungkin cuma satu. tapi segala yang kaukunyah tak kunjung sembuh. semakin banyak. beternak dalam dirimu. apa yang kau dapat tak sempat kau dekap. hasrat yang terjerat.

2019

Alexander Robert Nainggolan (Alex R. Nainggolan) lahir di Jakarta, 16 Januari 1982. Bekerja sebagai staf Unit Pelaksana Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Kecamatan Menteng Kota Adm. Jakarta Pusat. Menyelesaikan studi di FE Unila jurusan Manajemen. Tulisan berupa cerpen, puisi, esai, tinjauan buku terpublikasi di Majalah Sastra Horison, Jurnal Puisi, Kompas, Republika, Jurnal Nasional, Jurnal Sajak, Media Indonesia, Suara Pembaruan, Jawa Pos, Koran Tempo, Kedaulatan Rakyat, Seputar Indonesia, Berita Harian Minggu (Singapura), Sabili, Annida, Matabaca, Majalah Basis, Koran Merapi, Indo Pos, Minggu Pagi, Bali Post, News Sabah Times (Malaysia), Surabaya News, Suara  Merdeka, Pikiran Rakyat (Bandung), Tribun Jabar, Analisa, Radar Surabaya, Lampung Post, Sriwijaya Post, Riau Pos, Suara Karya, Bangka Pos, NOVA, Tabloid Cempaka (Semarang), Rakyat Sumbar, Padang Ekspres, Medan Bisnis, Analisa, On/Off, Majalah e Squire, Majalah Femina, www.sastradigital.com, www.angsoduo.net, Majalah Sagang Riau, www.detik.com, dll.

Sumber: satupena.id

Pos terkait