Cerpen MH Abid : Rajam

Tulis Cerpen Puisi Dapat Uang
Ilustrasi. Foto : Istimewa

Angsoduo.net – BAPAK mungkin tidak akan menikah lagi, seandainya istri tertuanya, Ibu, menolak diceraikan. Setiap tahun, ya setiap tahun, Bapak selalu menambah satu istrinya. Dan ketika telah sampai empat yang menurut agama merupakan batas maksimal seseorang beristri, Bapak lalu menceraikan Ibu.

Bapak sebenarnya bukan orang yang taat beragama. Agamanya saja yang Islam. Tetapi kalau shalat atau pergi ke masjid, boleh dikatakan tidak pernah. Paling-paling dalam setahun dua kali; saat Idul Fitri dan Idul Adha. Selebihnya, kalau benar-benar mau dan sempat-biasanya ia menyibukkan diri untuk tidur!-ia pergi juga untuk shalat Jumat. Anehnya, ketika ia mau menikah lagi ia sangat memperhatikan aturan agama yang melarangnya menikah dengan lima istri. Harus satu terlebih dahulu diceraikan. Dan itu Ibu.

Mungkin Bapak takut pada norma yang dipegang masyarakatku yang kental dengan nuansa agamis. Maklum desaku adalah salah satu basis sebuah organisasi keagamaan terbesar. Malam-malam, terutama malam Jumat, sangat sering diadakan pengajian. Kalau ada yang melanggar ketentuan agama misalnya, pasti ketentuan agama pula yang dijadikan hukum. Ketika seseorang kedapatan mencuri, ia dipotong tangannya. Atau kalau terjadi perzinahan, pelakunya pasti akan dirajam. Melanggar ketentuan agama yang menyangkut hubungan dengan orang lain, dengan menikahi lima orang sekaligus misalnya, akan sangat fatal akibatnya. Tetapi kalau sudah urusan pribadi, seperti shalat, tak ada yang ambil peduli.

Baca juga : Quotes atau Kata Indah Tentang Rindu

Tentu perceraian itu terjadi setelah Bapak dan Ibu bertengkar hebat. Ibu mulanya menolak diceraikan. Menurutnya, pernikahan Bapak hanya karena menuruti nafsu belaka. Tentu pula aku tak tahu apa yang dimaksud dengan nafsu. Kala itu aku masih kecil. Sekitar enam tahunan. Masih kata Ibu, tahun depanpun Bapak akan menikah lagi, dan istri keduanya, setelah Ibu, akan pula diceraikan! Raungan keras tangis Ibu memaksaku meninggalkan ruang tengah tempat mereka bertengkar dan masuk kamar. Naluriku menuntunku untuk menangis. Ya, aku menangis dan terus menangis…

Yang kutahu kemudian Bapak tidak pernah pulang ke rumah. Rumah kami yang lumayan besar dengan empat kamar besar pula, masing-masing milik keempat istri Bapak, ditinggalkan begitu saja. Bapak beserta ketiga istrinya yang lain lalu pindah ke rumah Haji Mursid, majikan Bapak. Entah apa rayuan Bapak sehingga Pak Haji mau menerima Bapak untuk tinggal di dekat gudang belakang rumahnya yang megah itu. Barangkali karena Bapaklah anak buah sekaligus sahabat Haji Mursid yang paling setia. Bapak adalah sopir pribadi Pak Haji yang juga pekerja serabutan di rumahnya. Bapak memang rajin dan tak pernah membantah apa yang diperintahkan Pak Haji. Kepindahannya ke rumah di belakang gudang Pak Haji, hitung-hitung mungkin sekaligus untuk menjadi penjaga gudang tersebut.

Kemurahan Pak Haji pada Bapak tampak jelas ketika Bapak menikah untuk kelima kalinya. Seperti pernikahan-pernikahan Bapak sebelumnya, pernikahan itu meriah sekali. Bapak dan istri barunya yang muda dan, kata orang, memang cantik itu diarak layaknya baru kali itu Bapak menikah. Seluruh penduduk desa diundang. Tiga kerbau disembelih. Dan malamnya wayang kulit yang didatangkan dari kota menghibur seluruh warga desa. Lakonnya adalah Sri Tanjung Edan. Semua warga tumplek-blek di halaman rumah Pak Haji yang luas, tempat resepsi dilaksanakan. Dengan apa Bapak yang cuma buruh itu bisa merayakan pernikahan semegah itu, tak lain karena kebaikan Pak Haji Mursid. Semua bersuka-cita, kecuali Ibu. Ia sendiri yang tidak hadir. Sepanjangan hari, di sela-sela aku pulang kecapekan bermain-main bersama teman sebayaku di tempat keramaian itu, kulihat Ibu menangis sambil memeluk bantal.

Seperti biasanya seseorang yang baru memiliki istri muda, Bapak sangat mengistimewakan istri barunya tersebut. Setiap ke luar daerah bersama Pak Haji untuk mengurus dagangan, pasti ia yang dibawa. Berhari-hari biasanya. Tetapi anehnya ketiga istrinya yang lain tidak ada yang cemburu. Semua tampak biasa-biasa saja. Entah apa pula ilmu yang dimiliki Bapak sehingga mereka sangat akur meski ditempatkan dalam satu rumah dengan rasa adil yang tidak sama-istri yang termudalah yang selalu diajak mendampingi Bapak bekerja, sementara yang tertua hampir tak pernah. Hanya kata orang-orang, Bapak memang memiliki ilmu pengasihan yang kehebatannya sudah tak perlu dibuktikan lagi. Masih kata orang-orang, sangat rugi kalau aku sebagai anak satu-satunya-dengan istrinya yang lain Bapak tidak mempunyai seorangpun anak-tidak mewarisi ilmu Bapak tersebut.

Persahabatan Bapak dengan Pak Haji telah dimulai sejak lama. Sebelum sama-sama menikah, keduanya adalah sepasang teman akrab. Bapak dan Pak Haji sama-sama merantau dari tanah seberang yang jauh. Keduanya lalu bekerja di desa rantauan dengan rajinnya. Keberuntungan lalu berpihak pada Pak Haji. Wajahnya yang tampan memikat hati seorang gadis anak satu-satunya orang terkaya desa itu. Setelah menikah, kekayaan itupun pindah ke tangannya, walau, kata orang-orang lagi, ia sendiri ‘kalah’ dari istrinya yang usianya lebih tua itu. Ia tidak berani membantah kata-kata Bu Haji.

Oleh Pak Haji, Bapak kemudian ditawari menjadi sopir pribadinya. Dari sinilah Bapak kenal dengan pembantu Pak Haji yang kemudian diperistrinya dan melahirkan aku. Pak Haji pula yang membangunkan rumah untuk Bapak yang nantinya rumah itu ditinggalkan begitu saja oleh Bapak ketika bercerai dengan Ibu. Jadilah rumah itu akhirnya milik kami berdua, milikku dan milik Ibu. Bapak tidak pernah menyinggung apalagi mempermasalahkan. Sepertinya ia sudah begitu puas telah menceraikan Ibu dan menikah lagi.

Sungguhpun telah bercerai, aku masih sering bertemu Bapak. Rumah yang ditinggalkan Bapak dengan rumah Pak Haji memang tidak jauh. Hanya terpaut tigapuluhan meter. Aku selalu melihat Bapak dari balik pagar besi yang memisahkan rumahku dengan komplek rumah Pak Haji. Kulihat Bapak selalu sibuk memberikan instruksi pemuatan barang ke dalam truk kepada anak buah Pak Haji lainnya. Atau kalau tak begitu, biasanya Bapak mencuci mobil Pak Haji yang bagus itu. Pada saat seperti itulah aku sering masuk ke kawasan pagar besi itu. Bapak langsung akan menghentikan pekerjaannya sejenak. Memberiku sebungkus gula-gula dan mencium pipiku lama sekali. Kalau sudah menciumku sering kulihat mata Bapak memerah, entah karena apa. Lalu kemudian buru-buru ia menyuruhku menjauh dari mobil agar tak mengganggu pekerjaannya.

Rumahku yang dulunya ramai karena ada Bapak dan istri-istrinya, setelah perceraian itu menjadi sepi sekali. Kesepian itupun bertambah pada saat Ibu pergi bekerja menjadi tukang cuci pakaian di rumah Pak Haji. Kata ibu, ia terpaksa bekerja untuk memenuhi kebutuhan kami berdua. Agar tak merasa kesepian, akupun disekolahkan Ibu di sebuah pesantren di desaku. Pesantren yang milik organisasi agama terbesar itu hanya mengijinkan aku untuk pulang sekali seminggu. Praksis setelah aku bersekolah, rumah kami menjadi kosong. Apalagi Ibu kemudian sering pula tidur di rumah Pak Haji, majikannya.

Aku kemudian tak banyak tahu tentang keluargaku. Kepulanganku yang seminggu sekali hanya dihabiskan dengan berbagai pertanyaan-pertanyaan Ibu menyangkut sekolah, kegiatan sekolah, dan nilai-ibu tampaknya sangat perhatian dengan sekolahku. Pertanyaan terakhirlah yang paling kusukai karena sudah pasti akan kujawab dengan perasaan bangga. Nilai-nilaiku selalu bagus, demikian puji ustaz-ustazku. Di pesantren aku selalu menjadi juara. Hingga tak terasa enam tahun sudah aku bersekolah. Aku sekarang telah kelas enam Ibtidaiyah. Dan selama enam tahun itu pula Bapak telah menikah sebanyak enam kali, dengan masing-masing istri yang tertua secara berurutan diceraikan!

***

PAGI-PAGI sekali, kala aku tengah belajar kitab Fiqh secara bandongan sehabis shalat subuh berjamaah di mushalla pesantren, seseorang tergopoh-gopoh menghampiri Ustaz. Pak Jali, Bapak Ketua RT tempatku rupanya. Keduanya berbisik-bisik sebentar sebelum akhirnya aku dipanggil ke depan dan dipersilahkan ikut Pak Jali.

Pak Jali mengajakku untuk pulang. Ada hal penting yang menuntut kehadiranku, katanya. “Sekarang, Pak?”

“Ya, sekarang. Sebelum jam tujuh kita harus sudah tiba.”

Tanpa sempat mandi dan berganti pakaian aku lansung saja mengikuti langkah Pak Jali. Napas kami tersengal-sengal di antara jejalanan desa yang becek di musim penghujan. Kain sarung dan baju koko yang kukenakan barangkali sudah sangat kotor sekali, terkena tepak-tepak sandal jepitku. Ditambah hawa dingin pagi yang menyergap. Di ujung sana, di timur, matahari mulai menampakkan kuasanya menyinari alam. Cahayanya kuning keemasan.

Tapi langkahku yang cepat terasa sangat berat. Bukan karena jalan yang berlumpur bekas hujan semalam, tapi pikiranku yang bertanya-tanya gerangan apa yang terjadi. Pak Jali yang berjalan di depanku tak mau menjawab pertanyaanku. “Tak terjadi apa-apa.” Katanya pendek. Kalau tak ada sesuatu mengapa aku dijemput sepagi ini, batinku gelisah.

Lewat jalan kecil setapak kami segera sampai di jalan besar, jalan raya penghubung desa dengan kota kecamatan. Namun aku salah besar. Kukira kami akan langsung menuju ke selatan, ke arah jalan yang menuju rumahku. Ternyata Pak Jali menarikku ke arah utara. “Kita langsung ke masjid,” katanya.

Sesampainya di sana sudah banyak orang berkumpul di halaman masjid yang luas itu. Pak Jali segera menyeruak di antara kerumunan itu. Aku menyusul di belakangnya. Dadaku bergemuruh hebat. Bermimpikah aku?

Tidak. Aku tidak bermimpi. Aku melihat kenyataan. Di hadapanku berdiri dua sosok tubuh yang sangat kukenal; Bapak dan Ibu. Bapak hanya mengenakan celana pendek, tubuhnya lebam-lebam bekas pukulan. Sementara Ibu dalam keadaan tak kalah mengenaskannya menangis sesenggukan. Kedua tangan mereka dipegangi empat sampai enaman orang. Naluriku menyuruhku untuk menangis. Ya, aku menangis sambil terduduk. Keras sekali.

Bapak imam maju ke depan. “Hadirin sekalian,” suara kerasnya yang biasanya anggun dan berwibawa, kali ini terdengar sangat menakutkan, di sela-sela tangisku. “Hari ini kita akan menyaksikan pelaksanaan hukuman rajam terhadap dua pelaku zina muhson. ” Sambil mengutip ayat tentang zina dan kewajiban menghukum rajam bagi pelakunya, lamat-lamat, kudengar ia memanggil para saksi, empat orang sekaligus , yang menandai bahwa perbuatan zina tersebut sudah tidak diragukan lagi.

Saksi pertama maju, Bu Haji Mursid. “Lillah , demi Allah saya menyaksikan dengan mata kepala sendiri keduanya berzina di garasi mobil malam tadi.” Suaranya tergetar, entah karena baru kali itu ia menjadi saksi zina atau saking jijiknya. Lalu disusul tiga saksi lainnya yang sama-sama bersumpah lillahi ta’ala dan memberi kesaksian yang sama.

“Kalau demikian bukti sudah jelas dan rajam bisa dilaksanakan!” Keputusan imam tegas sekali. Tangis Ibu meledak lagi. Sedangkan Bapak terlihat berusaha tabah. Matanya nanar memandangku yang sudah sedari tadi lemas.

Selanjutnya Bapak diberi kesempatan berbicara, untuk yang terakhir. Semua mata yang hadir melotot.

“Ya, kami telah bersebadan,” Suara Bapak berusaha tegar, bergetar, “tapi kami juga belum bercerai.”

“Di atas kertas kami memang bercerai. Dan saya bahkan telah menikah lagi tujuh kali. Tapi itu di atas kertas.”

“Sebenarnya, pernikahan saya dengan sepuluh istri saya yang lain hanya pernikahan gadungan. Saya hanya disuruh untuk menikahi saja. Sementara yang menggauli bukan saya, tapi yang menyuruh saya itu…”

“Siapa…?”

“Dia sudah tidak di sini lagi. Dia sudah pergi. Ketika kami tadi malam ditangkap, saya tahu ia pasti minggat.”

“Dia adalah si Mursid. Mursid keparat!!”

Sang imam bingung. Sementara wajah Bapak merah padam, menahan amarah. Ibu sesenggukan. Tiba-tiba tubuh Bu Haji, istri Haji Mursid, lemas lalu ambruk.***

Yogyakarta, 2003-2005

Catatan:

– Rajam adalah hukuman dengan lemparan batu sampai meninggal bagi pelaku zina.

– Lakon kethoprak dalam cerpen Bre Redana, Sri Tanjung Edan.

– Ibtidaiyah adalah tingkatan dasar sekolah agama (Islam), sederajat dengan SD.

– Sebuah model pengajian pesantren dengan sistem seorang ustaz atau kiai membacakan kitab dan para santri menyimak.

– Muhson adalah istilah pezina yang sudah tidak bujang atau gadis lagi.

– Syarat persaksian zina dalam Islam adalah empat orang saksi.

– Lillah atau lengkapnya lillahi ta’ala adalah kata-kata yang menunjukkan sumpah dalam Islam.

Pernah tayang di Angsoduo.net pada 23 Oktober 2005

Pos terkait