Agama Orang Indonesia

 

Karen Amstrong sendiripun pernah mengatakan “homo religius[1]”. Pada dasarnya manusia adalah makhluk religious. Manusia mulai menyembah dewa-dewa segera setelah mereka menyadari diri sebagai manusia ; Mereka menciptakan karya-karya seni. Sebagaimana seni, agama merupakan usaha manusia untuk menemukan makna dan nilai kehidup ditengah derita yang menimpa wujud kasatnya.

Homo religius secara institusi adalah prestasi simbolik, mitikal dan ritual atas peristiwa-peristiwa. Aristoteles kemudian menempatkan Tuhan sebagai monoteis[2].

Menurut Karen, Gagasan tentang Tuhan yang dibentuk oleh sekelompok manusia pada satu generasi bisa saja menjadi tidak begitu bermakna bagi generasi lain. Ketika sebuah konsep tentang Tuhan tidak lagi mempunyai makna atau relevansi, ia akan diam-diam ditinggalkan dan digantikan oleh sebuah teologi baru[3].

Sebelum kedatangan agama-agama besar dunia seperti Budha, Hindu, Kristen dan Islam, Indonesia mengenal agama-agama sebagai sebagai bentuk penghormatan kepada Sang Pencipta. Setiap tempat kemudian meninggalkan jejak sehingga kedatangan agama-agama besar dunia sekalipun tidak menghilangkan agama-agama Indonesia.

Di Batak dikenal Hasipelebeguon[4]. Religi Batak mengenal nama dewa yang diyakini sebagai dewa tertinggi yang dipanggil dengan Ompu Mulajadi Nabolon atau Debata Mulajadi Nabolon. Disamping itu dikenal juga beberapa dewa lainnya yang bernama: Batara Guru, Mangala Bulan, Mangala Sori, Debata Asiasi, Boraspati Ni Tano, Boru Saniang Naga, roh-roh para leluhur dan berbagai macam jenis begu lainnya. Seluruh roh sembahan ini dimanfaatkan untuk melindungi mereka dari berbagai bentuk bahaya dan malapetaka, dan menjamin tercapainya kekayaan (hamoraon), kemuliaan (hasangapon), dan keberhasilan hidup (hagabeon)[5].

Atau Parmalin[6] yang semula Awalnya gerakan spiritual untuk mempertahankan adat istiadat dan kepercayaan Kuno Batak Toba dari agama yang dibawa Belanda dan Jerman. Selain Parmalin, dikenal juga Na Siak Bagi dan Parhudamdam yang berkiblat Ke Sisingamaraja. Ketiganya meyakini, Sisingamangaraja akan datang dalam pengembaraan. Namun Parmalin masih menempatkan Tuhan Yang Maha Esa (Debata Mulajadi Nabolo), sebagai pencipta manusia, langit, bumi dan segala isi alam semesta yang disembah Umat Ugamo Malin (Parmalin).

Minangkabau dikenal didalam Tambo “Perjalanan Dapunta Hyang dari Tanah Basa (sekitar lembah Indus) pada pertama kali perbatasan Solok dengan Sawahlunto Sijinjung menginjakkan kakinya dikaki Gunung Merapi (sekitar 250 tahun sebelum Masehi) Di Sungaideras ini terdapat delta seperti pulau, disinilah tempat Dapunta Hyang dan rombongannya datang ke Gunung Merapi dengan memudiki pemujaan atau pusat persebahan, juga tempat bersemayam sungai Kampar Kanan dan sungai Kampar Kiri (Muara Kampar), tidak lain hanya Dapunta Hyang., Punjung berasal dari kata pujou artinya puja. hanya mencari identitas atau pengganti tempat suci. Menurut agama Hindu-Budha[7] 

Di Rejang, Suku Sembilan tidak dapat dipisahkan dari sejarah Rejang[8]. Setelah beberapa lama menetap, datanglah empat orang hulubalang (biku)[9] dari kerajaan Majapahit yaitu biku sepanjang jiwo, Biku Bejenggo, Biku Bermano dan Biku Bembo. Berkat kesaktian, keluruhan budi dan kebijaksanaannya, empat hulubalang diminta untuk menetap dan menjadi pemimpin. Keempat orang biku yang memimpin Petulai kemudian dikenal sebutan Depati Tiang Empat. Dalam bahasa Rejang kemdian dikenal Pat Petulai.

Di Tanah Sunda dikenal agama Sunda. Dikenal Sunda Wiwitan[10]. Sunda Wiwitan terdiri dari dua kata. Sunda dan Wiwitan. Sunda dimaknai (1) filosofis, Sunda berarti bodas (putih, bersih, cahaya, indah, bagus, cantik, (2) etnis yang merujuk kepada komunitas bangsa Sunda, (3). Geografis yang mengajuk kepada wilayah Sunda Besar (The greater Island)[11].
Sunda Wiwitan diyakini sebagai ajaran sunda paling awal. Sunda Wiwitan merupakan kepercayaan yang hanya diturunkan untuk masyarakat Suku Baduy sebagai keturunan pertama dari manusia pertama (Nabi Adam).
Orang Baduy percaya kepada Tuhan “Gusti Nu Maha Suci Allah Maha Kuasa. Nabi Adam merupakan keturunan dari Batara Patanjala yang merupakan salah satu dari tujuh Batara Keturunan Batara Tunggal atau “Gusti Nu Maha Suci Allah Maha Kuasa”. Aturan adat (Pikukuh) yang diwariskan turun temurun dan ruh nenek moyang masih ada dan selalu mengawasi setiap perbuatan. Ruh nenek moyang berkumpul di Sasaka Domas yang merupakan pusat dari wilayah Baduy sekaligus kiblat[12].
Selain itu juga dikenal Ajaran Djawa Sunda. Pada hakikatnya, pilar ajaran Agama Djawa Sunda adalah “Pikukuh Tilu”. Para penghayat ADS menyebut Tuhan dengan sebutan Gusti Sikang Sawiji-Wiji. Kata Wiji artinya adalah inti, yaitu inti dari kelangsungan kehidupan di dunia. Sebagai inti dari segala kehidupan, eksistensi Tuhan dapat ditransformasikan menjadi daya atau energi yang sifatnya konkrit. Dalam hal ini, Tuhan melekat pada setiap ciptaan-Nya atau dengan kata lain inheren pada setiap entitas yang ada[13].
Selain itu juga dikenal  Aliran Kepercayaan Agama Jawa Sunda yang berpusat di Cigugur, Kuningan. Ajaran ini dikenal Madrais (Ngelmu Cirebon)[14]. 

Dalam konsepsi Ketuhanan dikenal “Sangkan Paraning Dumadi”. Ajaran ini mengandung kejadian manusia berasal dari api, air, angin dan bumi (tanah)[15]. Yang ditandai dengan “Asaling Dumadi (asal mula wujud), Sangkaning Dumadi (Darimana datangnya hidup), Purwaning Dumadi (Permulaan hidup), Tataraning Dumadi (derajat atau martabat manusia) dan Paraning Dumadi (Bagaimana dan kemana wujud berkembang).

Dalam prakteknya kemudia diwujudkan Wajib menyembah kepada Guru, Ratu (kepala Pemerintahan) dan kedua orang tua. Memelihara tanah dengan bercocok tanam. Dilarang menentang adat. Masyarakat mengenal Paguyuban adat Cara Karuhun Urang.  Konsepsi peribadatan dilakukan dengan duduk, semedi, berbaring, berdiri.

Ketiga agama Jawa Sunda menempatkan jalan untuk mencapai derajat sebagai makhluk Tuhan yang dikenal “Pikukuh Tilu” seperti Ngaji badan, Tuhu/mikukuh kana tanah[16].
Di Semarang dikenal Pangestu sebagaimana dituliskan oleh Kaswadi “Pendekatan Pendidikan Keagamaan islam dalam Keluarga Penganut Pangestu Desa Nogosaren Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang[17].
Pangestu adalah singkatan dari Paguyuban Ngesti Tunggal yang merupakan suatu organisasi sebagai wadah berkumpulnya para anggota Pangestu. Dalam buku Petunjuk Ceramah Penerangan Sang Guru Sejati dijelaskan bahwa Paguyuban Ngesti Tunggal berarti persatuan yang dijiwai oleh hidup rukun dan semangat kekeluargaan dengan upaya bitiniah yang didasari dengan permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa, untuk bersatu dalam hidup bermasyarakat dan dapat bersatu kembali dengan Tuhan Yang Maha Esa[18].
Jika diartikan perkataan pangestu memiliki arti Paguyuban (persatuan yang dijiwai oleh hidup rukun dan semangat kekeluargaan) Ngesti (upaya bitiniah yang didasari dengan permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa) Tunggal (bersatu dalam hidup bermasyarakat dan bersatu kembali dengan Tuhan Yang Maha Esa)[19]
Pangestu mempunyai Kitab Suci. Pokok-pokok ajaran tersebut terbagi menjadi tiga bagian yaitu sabda pratama, kitab sasangka jati dan sabda khusus. Namun sesungguhnya keseluruhan kitab panduan yang dijadikan pegangan atau wajib dipelajari bagi anggota/siswa Pangestu ada sepuluh buku, sedangkan tujuh lainnya yaitu Olah Rasa di Dalam Rasa, Taman Kamulyan Abadi, Arsib Sardjana Budi Santosa, Ulang Kang Kelana, Olah Rasa, Wahyu Sasangka Jati dan Riwayat Hidup Bapak Paranpara Pangestu R. Soenarto Martowardjojo.
Pangestu adalah sebuah paguyuban sebagaimana selayaknya organisasi lainnya yang bergerak dalam bidang olah rasa atau pendidikan kejiwaan yaitu kelompok kerohanian tempat menempa mental kejiwaan. Hal ini terungkap dari kitab Sasangka Jati[20].
Pangestu bukanlah agama atau aliran kepercayaan dan tidak ingin berusaha untuk mendirikan agama baru. Hal ini dijelaskan dalam kitab Sasangka Jati bagian Tunggal Sabda, Jalan Rahayu, Panembah dan Sabda penutup.
Oleh karena ajaran pangestu bukan merupakan agama, aliran kebatinan maupun aliran kepercayaan maka untuk menjadi anggota ataupun yang menjadi anggota tidak lantas dianjurkan atau dipaksa untuk meninggalkan keyakinan lamanya. Hal inilah yang menjadi salah satu dasar aliran pangestu adalah sebuah organisasi kerohanian yang terbuka untuk siapa saja.
Di Tanah Jawa dikenal Kejawen. Cliford Geertz membagi tiga golongan yaitu santri (islam ortodok), priyayi (kalangan bangsawan) dan abangan. Golongan abangan mengalami akulturasi dengan Hindu-Budha yang disebut golongan Kejawen atau mistisme Jawa[21].
Masyarakat Jawa mempunyai keyakinan bahwa manusia tetap mengalami ketergantungan dari kekuasaan adi duniawi. Manusia harus bisa menempatkan selaras dengan keinginan leluhur untuk mempertahankan tradisi. Roh-roh leluhur yang berada disekitar harus diperhatikan sehingga tidak kualat[22].
Tradisi seperti “puasa mutih, cegah dahar lawan guling (mencegah makan dan mengurangi tidur), ngasrep adalah tradisi untuk mengganggu ketentraman keluarga[23].

Sedangkan untuk penyebutan kekuatan terbesar alam ini adalah Gusti Ingkang Murbeng Dumadi, Gusti Ingkang Moho Kuwaos, dan lain sebagainya, sehingga wajar mereka mengadakan sesajen ke tempat-tempat yang mereka anggap keramat, di pohon, bukit, gua-gua atau bahkan membuat tempat tersendiri untuk menaruh sesaji mereka[24].
Hubungan dengan Tuhan adalah hubungan yang mendasar (Manunggaling Kawulo Gusti). Masyarakat harus selaras dan menyatu dengan alam (Netepi Prataning Jagad)[25]. Oleh karena itu maka diperlukan proses yang panjang serta harus melalui syarat-syarat khusus.
Sedangkan Samin[26] dikenal di Blora, Bojonegoro, Pati, Rembang, Kudus, Madiun, Sragen[27]. Dengan penghormatan dua tempat penting yaitu Desa Klopodhuwur di Blora dan Desa Tapelan, Bojonegoro. Masyarakat kemudian mengenal daerah Pegunungan Kendeng Utara dan Kendeng Selatan[28].

Samin Surosentiko adalah keturunan Kusumaningayu. Ayahnya bernama Raden Surowijoyo yang dikenal dengan Samin Sepuh yang bekerja sebagai perampok untuk kepentingan orang miskin. Raden Kohar berganti nama Samin, karena nama Samin lebih merakyat[29].

Komunitas Samin memiliki kitab suci yang tersimpan dalam 5 buku yang disebut “Serat Jamus Kalimasada” yang antara lain adalah Serat Punjer Kawitan, Serat Pikukuh Kasajaten, Serat Uri-Uri Pambudi, Serat Jati Sawit dan Serat Lampahing Urip[30].

Samin mengenal tiga prinsip yaitu “angger-angger yang terdiri dari angger-angger pangucap (hukum bicara), angger-angger pertikel (hukum tindak tanduk), angger-angger lakonono ( hukum yang perlu dijalankan).

Pengikut Samin melakukan sembahyang dengan cara bersemedi selama 2 atau 3 menit menghadap ke timur. Semedi dilakukan sehari 4 kali yaitu pagi jam 06.00, waktu matahari terbit; jam 12.00 waktu matahari kulminasi; jam 18.00 waktu matahari terbenam; dan jam 24.00 waktu tengah malam. Semedi dilakukan dengan niat “ingsun wang wung durung dumadi konone namung Gusti” (saya tidak ada belum diciptakan adanya hanya Tuhan)[31].

Di Bali yang mayoritas masyarakatnya adalah pemeluk agama Hindu, Tuhan disebut dengan nama Hyang Widhi Wasa. Namun demikian, dalam praktik kepercayaan agama Hindu di Bali juga dikenal adanya pemujaan terhadap dewa-dewa. Praktik pemujaan ini sesungguhnya merupakan pemujaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam berbagai manifestasinya. Tiga dewa utama yang selalu dipuja oleh orang Hindu adalah BrahmaWisnu dan Siwa, atau yang sering disebut Tri Murti yang merupakan manifestasi Hyang Widhi Wasa sebagai pencipta, pemelihara, dan pelebur[32].
Di Nusa Tenggara Barat dikenal Islam Wetu Telu. Wetu telu dengan menyimpulkan empat konsepsi; (1) wetu telu berarti tige reproduksi. Berarti datang dari tiga refroduksi yang berarti semua makhluk hidup berasal dari tiga proses refroduksi, nganak, betelu’ dan tiwu’, (2) Wetu Telu melambangkan ketergantungan hidup satu sama lain, (3) Wetu Telu sebagai sebuah sistem agama termanipfestasi dalam dalam kepercayaan, maka semua makhluk hidup melewati tiga tahap; lahir, hidup, dan mati, (4) Konsepsi kepercayaan Wetu Telu adalah iman kepada Allah, Adam, dan Hawa[33].

Ada tiga unsur penting dalam keyakinan penganut Wetu Telu yaitu  (a) Rahasia atau asma yang mewujud dalam indra tubuh manusia, (b) Simpanan wujud Allah yang tersimpan dalam  Adam dan Hawa, (c) Kodrat Allah adalah kombinasi 5 indra dan 8 organ yang diwarisi dari Adam dan Hawa.[34]

Ajaran yang terdapat dalam lontar Jatiswara, lontar Nursada dan Nurcahya, dan lain-lain yang kebanyakan ajarannya tentang Usul dan Tasawuf. Isi lontar yang pelik dan sulit dipahami masyarakat awam, sehingga lama-kelamaan terjadi penyimpangan dari Agama Islam murni.[35]

Apabila dilihat dari sisi historisnya, Wetu telu bukanlah aliran kepercayaan, ia adalah penganut Islam yang singkretik dengan adat lokal, yang mempertahankan diri seiring arus pembaharuan oleh para tokoh agama di Lombok[36].

Sedangkan di Nusa Tenggara Timur dikenal Marapu. Bagi masyarakat Sumba[37], kepercayaan Marapu tersebut dipandang sebagai agama asli masyarakat Sumba yang diyakini, dipelihara, dan diwariskan dari generasi ke generasi secara turun- temurun. Karena itu, kepercayaan Marapu hingga kini masih hidup dan dianut oleh masyarakat di Pulau Sumba, khususnya di Kabupaten Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur[38].

L. Onvlee, seperti dikutip FD Wellem dalam bukunya Injil dan Marapu menyebutkan, Marapu berasal dari dua kata, yaitu ma yang berarti yang dan rapu yang berarti dihormati, disembah, dan didewakan. Yewangoe mempunyai pendekatan lain bahwa Marapu berasal dari dua kata, yaitu mara yang berarti berarti serupa dan appu yang berarti nenek moyang

Dalam kepercayaan Marapu, Tuhan disebut Amawolu amarawi yang secara harfiah berarti yang membuat dan yang menciptakan. Nama Tuhan tidak boleh disebut, karena Tuhan berbeda dengan manusia biasa, karena Dialah yang dikenal sebagai Wolutelu raibada (yang menciptakan manusia dan selain manusia).

Penganut Marapu percaya adanya Dewa-Dewa yang hidup di sekeliling mereka dan percaya bahwa arwah nenek moyang tetap hidup serta ikut menentukan kehidupan masyarakat, sehingga mereka memperlakukan arwah nenek moyang secara istimewa. Perlakuan istimewa tersebut antara lain diwujudkan dalam bentuk pemberian sesaji secara berkala yang dipersembahkan pada roh leluhur.

Keberadaan ruang marapu di atap rumah sebagai tempat sesaji untuk para Dewa juga merupakan salah satu contoh kongkrit adanya kepercayaan pada roh leluhur. Marapu dalam kaitannya dengan rumah adat dikaitkan dengan barang-barang yang tidak boleh dilihat oleh orang biasa. Dalam suatu paraingu biasanya terdapat pemujaan satu marapu ratu (maha leluhur), sehingga leluhur ini dipuja dalam suatu rumah kecil yang tidak dihuni[39].

Di Kalimantan Tengah dikenal Hindu Kaharingan[40]. Kaharingan diciptakan tahun 1957 dari unsur-unsur kepercayaan dalam masyarakat Dayak[41]Suku Dayak Ngaju merupakan suku asli paling besar di Propinsi Kalimantan Tengah. Sebagian besar masyarakat Dayak Ngaju tinggal di kampung-kampung di tepi sungai.

Kaharingan merupakan suatu sistem kepercayaan hingga tahun 1980 Dan sebagai agama. Dengan demikian berada di bawah aturan Departemen Agama yang mengurus serta mengontrol semua hal-hal yang bersangkutan dengan agama termasuk kegiatan, upacara, pendidikan dan ritual[42].
Kitab suci dikenal “Buku Suci Panuturan”. Tuhan Yang Maha Esa dalam agama Hindu Kaharingan adalah Ranying Hatalla Langit Jata Balawang Bulau.[43].
Menteri Agama Indonesia mengeluarkan Surat Keputusan bernomor MA/203/1980 pada tanggal 28 April 1980. Surat tersebut berisi persetujuan peleburan umat Kaharingan ke dalam agama Hindu Dharma.
Kepercayaan terhadap agama-agama pribumi di tanah Papua dikaitkan dengan gerakan-gerakan keselamatan, kultus kargo (cargo cult) dan pandangan messianistic yaitu pengharapan munculnya kebahagiaan dan kebebasan[44].
Di Papua dikenal Suku Asmat. Dalam hal kepercayaan orang Asmat yakin bahwa mereka adalah keturunan dewa yang turun dari dunia gaib yang berada di seberang laut di belakang ufuk, tempat matahari terbenam tiap hari. Menurut keyakinan orang Asmat, dewa nenek-moyang itu dulu mendarat di bumi di suatu tempat yang jauh di pegunungan. Dalam perjalanannya turun ke hilir sampai ia tiba di tempat yang kini didiami oleh orang Asmat hilir, ia mengalami banyak petualangan[45].
Tuhan dalam agama atau kepercayaan Towani Tolotang (Kabupaten Sidenreng Rappang, Sulsel), sebagaimana dianggap oleh pemeluknya, disebut Dewata Seuwae (Tuhan Yang Maha Esa) dan juga bergelar Patotoe (Yang Menentukan Nasib Manusia). Dewata Seuwae adalah penguasa tertinggi yang melebihi kekuasaan manusia, menciptakan alam dan isinya, tujuan penyembahan. Selain menyembah kepada Dewata Seuwae, masyarakat Towani tolotang juga melaksanakan penyembahan terhadap dewa-dewa lain[46].
Ajaran tentang sifat- sifat Tuhan seperti “Mappancaji Tenripancaji”,  Pencipta tapi tidak diciptakan (tidak dilahirkan) “Makkelo Tenri Akkelori”,  Kuasa tapi tidak dikuasai,  “Naita nan Tannaita mata”, Melihat tapi tidak dilihat
“, Iyamaneng makkelori” , Segalanya dalam kekuasaan-nya[47].
Dalam msyarakat Towani Tolotang, kekuasaan tuhan juga banyak digambarkan dari berbagai nama yang dikenakan kepadanya antara lain (1) Dewata Patotoe, Tuhan yang berkuasa mengatur dan menentukan nasib dan takdir segala sesuatu, (2) La Puange, Tuhan yang memerintah alam semesta, (3) Dewata Seuwae, Tuhan Yang Maha Esa (Tunggal), (4) To Parumpue, Tuhan yang melakukan kehendaknya, (5) To PalanroE, Tuhan Yang Maha Pencipta, (6) To Palingek-LingekE, Tuhan yang menghilangkan nyawa manusia, (7) Dewata Seuwae Tekkeinang, Tuhan Yang Maha esa tidak beribu dan tidak berayah, (8) Puang Mappancajie, Tuhan yang Maha Menjanjikan.
Beberapa tokoh pemimpin yang dikenal antara lain Dewata mattunrue, Aji Sangkuru Wirang (To Palanroe Latogelangi-Batara Guru), Ilati Wuleng (Batara Lattu), Sawerigading, La Galigo, dan lain-lain. Mereka semua digambarkan memiliki kekuatan yang lahir dari keberdayaan keagamaan. Penduduk hanya menerima dan mengikutinya sebagaimana yang digariskan oleh kepercayaan mereka yang bersifat magis- religius.
Dalam penghormatan terhadap Leluhur, di Jambi juga mengenal tempat-tempat yang dihormati (Rimbo Keramat), Rimbo Puyang, Rimbo Ganuh. Atau sejarah kedatangan Moyang ke Jambi seperti berasal “Nenek Semula Jadi”, Datuk Perpatih Penyiang Rantau”.

Catatan Marco Polo[48] maupun Tome Pires[49] menyebutkan Majapahit menganut agama Hindu-Budha. Sedangkan di Samudra Pasai telah menganut Islam[50].

Di Jambi sendiri catatan tentang Melayu Jambi dapat dijumpai dari kitab Dinasti Liang dan Dinasti Ming. Adanya utusan pada tahun 430 – 475 masehi[51]. Catatan I-Tsing yang mengunjungi Sriwijaya tahun 672 Masehi menyebutkan kata Melayu (Mo-Lo-Yue). Selain itu catatan kedatangan Melayu Jambi juga dituliskan oleh  Benjamin , On Being Tribal in the Malay World.” In Tribal Communities in the Malay World: Historical, Cultural and Social Perspectives [52]. Slamet Muljana juga menyebutkan berita- berita dari Arab yang mengatakan adanya Maharaja dari Zabag yang dapat diidentifikasi sebagai Muara Sabak. Atau dari berita China yang mengatakan nama San-fo-ts’i sebagai kawasan penting dalam Sriwijaya saat itu[53]

Sedangkan Abad VI sampai awal abad XI, menjadi salah satu pusat maritime jalur perdagangan nusantara, agama Budha menjadi agama yang kuat dan mengakar[54]. Jejaknya masih dilihat Candi Muara Jambi. Hancurnya Sriwijaya kemudian berhasil dilakukan oleh Kerajaan Majapahit dengan eksepedi Pamalayu tahun 1275[55] Sedangkan Kerajaan Pagaruyung kemudian dipimpim Adityawarman kemudian mengalami kejayaan[56].

Jejak penghormatan yang berakar dari Hindu juga dikenal Teluk sakti rantau betuah gunung bedewo[57]Teluk sakti. Rantau betuah, Gunung Bedewo hanyalah tempat dan bentuk penghormatan manusia kepada Tuhan. Aristoteles menyebutkannya “hylemorfisme[58]

Namun ketika terjadi peperangan dengan Johor[59] dan Palembang, Raja Jambi diketahui memeluk agama Islam. Jambi – secara politik – pernah masuk pengaruh Mataram[60], Demak[61] bahkan Ottaman Turk[62]. Bahkan menurut catatan Tome Pires, pada awal abad XVI Jambi juga mempunyai hubungan perdagangan dengan Tuban[63].
Kesultanan Jambi dimulai tahun 1615 – 1906[64] Masehi.

Cerita tentang Mataram dapat dijumpai didalam cerita-cerita rakyat seperti Marga Sungai Tenang, Marga Senggarahan (Merangin). Sedangkan di daerah Hilir Jambi, Marga Kumpeh hilir sudah mengenal Islam.

Sedangkan cerita Turki ditandai dengan Cerita local baik di ornament makam Datuk Paduka berhala maupun cerita tentang Anak Datuk Paduka Berhala yaitu Orang Kayu Hitam masih kuat didalam ingatan kolektif masyarakat di Jambi daerah hilir. Kedatangan Datuk Paduko Berhala diperkirakan tahun 1480[65]

Sehingga tidak salah kemudian G. J. F. Biegmen didalam bukunya “Enam Belas Tjerita  Hikajat Tanah Hindia[66]” menyebutkan “Soenggoehpoen Kabanjakan Orang Hindia Sakarang soedah lama masoek islam, tetapi beberapa adatnja asalnya dari pada agama jang lama itoe”.

Namun agama-agama yang masih dianut oleh penduduk Indonesia adalah perwujudan dari sikap sebagaimana disampaikan oleh Karen Amstrong. Sebagai manusia “homo religi”. Manusia Indonesia sudah mengagungkan kebesaran Tuhan sehingga penghormatan terhadap alam tetap terjaga. Dari generasi ke generasi.

Tentu masih banyak lagi catatan yang bercecer tentang agama-agama Indonesia. Baik belum tercatat, kesulitan untuk mendapatkan data hingga penganutnya yang mulai hilang.

Di Jambi sendiri, setiap jejak peradaban masih dikenal masyarakat. Baik penghormatan terhadap Dewata, penghormatan terhadap pengaruh Hindu, ajaran islam, pengaruh Turki, India, Minangkabau, Mataram. Setiap jejak adalah bentuk peradaban yang masih dirawat dengan baik oleh penduduk di Jambi.[67]


[1] Karen Amstrong, SEJARAH TUHAN – Kisah Pencarian Tuhan Yang dilakukan Oleh Orang Yahudi, Kristen dan Islam selama 4000 tahun, Penerbit Mizam, Bandung, 2001, Hal. 20
[2] Karen, Ibid. Hal. 69-70
[3] Karen, Ibid, Hal. 21
[4] E.H. Tambunan, Sekelumit Mengenai Masyarakat Batak Toba dan Kebudayaannya, Tarsito, Bandung 1982: hlm. 130.
[5] Pemikiran tentang Batak (Editor: B.A. Simanjuntak), Universitas HKBP Nommensen, Medan 1986: hlm. 115.
[6] Asal usul kata malim bagi masyarakat Melayu berasal dari bahasa Arab “mualim” yang artinya pintar dalam pengetahuan agama. Kata parmalim sendiri bisa dipisahkan dalam dua kata, yaitu “par” dan “malim”. “Par” dalam bahasa Batak Toba merupakan awalan aktif yang berarti orang yang mengerjakan atau menganut sesuatu.Corry Purba, Politik dan Spiritual Parmalin dalam Rangka mempertahankan Agama Suku di Tanah Batak, Jurnal Sejarah Historia Tahun II Nomor 6 Mei 2013
[7] Drs. Mid Jamal , Manyigi Tambo Alam Minangkabau
                  [8] A Siddik, Hukum Adat Redjang. Catatan dari naskah-naskah lama. Bengkulu, 1977 Hal. 32  sebagaimana dituliskan oleh Tommy Erwinsyah, Suku Sembilan, Bengkulu – Perjuangan Menuntut Hak  didalam Kehutanan Multipihak – Langkah Menuju Perubahan, CIFOR, Bogor, 2006, Hal. 111-112.
[9] Biku yang dimaksudkan adalah “Biksu”. Pemimpin agama Hindu. Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al Qur’an, Tintamas Jakarta, 2001.
[10] Sunda Wiwitan dianut diantaranya Kelurahan Cigugur, Kecamatan Cigugur, Kuningan, Jawa Barat dan Desa Kanekes, Kecamatan Leuwi Damar, Lebak Banten. Di Desa Kanekes kemudian dikenal dengan nama Suku Baduy.
[11] Kartakusuma, Richadiana (2006) ‘Situs (Kabuyutan) Kawali di Ciamis, Jawa Barat: Ajaran Sunda di dalam Tatanan Tradisi Megalitik’, dalam Rosidi, Ajip dkk. (ed.) Prosiding Konferensi Internasional Budaya Sunda (KIBS) 2006. Jilid 1. Bandung: Yayasan Kebudayaan Rancage.
[12] Peraturan Desa Kanekes Nomor 1 Tahun 2007 Tentang SABA BUDAYA DAN PERLINDUNGAN MASYARAKAT ADAT TATAR KANEKES (BADUY)
[13] Yayasan Trimulya, Pikukuh Adat Karuhun Urang: Pemahaman Budaya Spiritual, Cigugur-Kuningan, 2000, hlm. 16.
[14] Kamil Kartapradja, Aliran Kebatihan dan Kepercayaan di Indonesia, 1990
[15] Dagun dan Purwanto, Pemaparan Budaya Spritual adat Karuhun Urang, 2000
[16] Kamil Kartapradja, Aliran Kebatihan dan Kepercayaan di Indonesia, 1990, Hal. 32
[17] Kaswari, Pendekatan Pendidikan Keagamaan islam dalam Keluarga Penganut Pangestu Desa Nogosaren Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang, Skripsi, STAIN Salatiga, 2013

[18] R. Rahardjo. Riwayat Hidup Bapak Paranpara Pangestu Soenarto Mertowardojo. Pengurus Pusat Pangestu, Solo, 1964, Hal. 9
[19] Hardjoprakoso, R. Tumenggung dan R. Trihardono Soemodihardjo, Sasangka Jati. Proyek Penerbitan dan Perpustakaan Pangestu, Jakarta, 1983, Hal. 8
[20] Ibid, Hal. 63
[21] Simuh, Islam dan Pergumulan Jawa, Teraju, Jakarta,  2003, hal. 39-40
[22] Sujamto, Pandangan Hidup Jawa, Dahan Prize, Semarang1997, hal. 42
[23] M. Darori Amin (ed.), Islam dan Kebudayaan Jawa, Gama media, Yogyakarta, 2000, hal. 9
[24] Frans Magniz Suseno Sj, Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijasanaan Hidup Jawa, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001, Hal. 8
[25] Damardjati Supadjar, Nawangsari, Media Widya Mandala, Yogyakarta1993, hal. 214
[26] Kata Samin berasal dari kata sami-sami amin (Jawa) atau sama- sama bermufakat dalam melakukan sesuatu untuk mencapai kesejahteraan, yang menunjukkan bahwa manusia sama derajatnya. Pandangan yang sangat menghargai hak-hak asasi manusia ini merupakan pandangan yang dijunjung oleh pengikut Samin. Mereka tidak merasa derajatnya lebih rendah dari pada priyayi Jawa dan orang-orang Belanda pada zaman kolonial pada saat munculnya ajaran ini. Nama Samin pada ajaran Samin juga diambil dari nama pendirinya, Samin Surosentiko yang lahir pada tahun 1859 di desa Ploso Kediren Kecamatan Randublatung Kabupaten Blora. Lihat Hardjo Kardi, Riwayat Perjuangan Ki Samin Surosentiko, 1996,, Hal. 1
[27] Encyclopaedie van Nederlandsh-Indie.
[28] M. Rosyid, Memotret Agama Adam : Studi Kasus Pada Komunitas Samin, Hal. 3
[29] Abdul Wahib,. Transformasi Sosial Keagamaan pada Masyarakat Samin, 2001, IAIN Walisongo Semarang.
[30] LIPI,  Religi Lokal dan Pandangan Hidup, Jakarta, 2004. Jakarta.
[31] Abdul Wahib,. Transformasi Sosial Keagamaan pada Masyarakat Samin, 2001, IAIN Walisongo Semarang.
[32] I Bagus Gusti Ngurah, 2002. “Kebudayaan Bali” dalam Koentjaraningrat : Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Penerbit Djambatan, Jakarta.
[33]  Erni Budiarti, Erni, Islam Sasak: Wetu Telu Versus Waktu Lima, LKiS, Yogyakarta, 2000, Hal. 139
[34] Ibid
[35] Solichin Salam, Lombok Pulau Perawan, Kuning Mas, Jakarta: 1992, Hal. 17
[36] Soekardjo Sastrodiharjo, Beberapa Djatatan Lombok, Pusat Djawatan Pertanian Rakjat, Djakarta, 1961, Hal. 21
[37] Nama Sumba konon berasal dari kata humba, yang berarti “asli”.Masyarakat Sumba menyebut diri sebagai Tau Humba, atau penduduk asli yang mendiami Pulau Sumba.
[38] Dwelle, F. 2004. Injil dan Marapu Suatu studi historis teologis tentang perjumpaan Injil dengan masyarakat Sumba pada periode 1876-1990.  BPK Gunung Muria, Jakarta.2004, Hal. .
[39] Pusat Penelitian Arkeologi Nasional – Pesona Budaya Sumba, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, Penerbiti Gajah Mada University Press, Hal. 2
[40] Hendrijani, A. et al., Dayak dan Indonesia – Belajar dari Tjilik Riwut. Galangpress. Yogyakarta, 2006,
[41] A. Schiller, (1996). An “Old” Religion in “New Order” Indonesia: Notes on Ethnicity and Religious Affiliation, Sociology of Religion, 1966, Hal. 409-417.
[42] M. Baier, Perkembangan Sebuah Agama Baru di Kalimantan Tengah, 2006.
[43] Ibid
[44] I Ngurah Suryawan, DIANTARA UGATAMEE DAN INJIL: TRANSFORMASI TEOLOGI-TEOLOGI PRIBUMI DI TANAH PAPUA, ISLAM RELITAS: Journal of Islamic & Social Studies Vol 2, No 1 Januari-Juni 2016
[45] Siti Nurbayani, Kondisi Sosial Budaya Masyarakat Papua.
[46] Soal eksistensi Tuhan dalam agama Towani Tolotang pertama kali diterima oleh seorang yang bernama La Panaungi ketika menjalankan ritual keyakinannya. Ketika La Panaungi mendengar suara yang menyebutkan bahwa “Akulah Dewata Seuwae yang berkuasa atas segalanya, akan kuberikan suatu keyakinan agar engkau selamat di dunia hingga hari kemudian. Keyakinan itu lebih suci dan mulia daripada yang engkau kerjakan”. Mendengar suara itu La Panaungi lama termenung, namun suara yang sama terdengar kembali, bahkan meminta agar La Panaungi membersihkan diri lebih dahulu sebelum diterimakan kepadanya suatu agama. La Panaungi kemudian mengikuti perintah itu, dan kembali terdengar suara sebagai wahyu pertama dari Dewata Seuwae mengenai keyakinan Towani Tolotang. Pada akhir pesan Dewata Seuwae mrenyatakan “sebarkanlah keyakinan ini kepada anak cucumu”, kemudian suara itu lenyap.  Erlina Farmalindah, Komunitas Towani Tolotang di Amparita Kabupaten Sidenreng Rappang – Studi Tentang Pola Pendidikan Beragama), Skripsi, Unhas, 2012, Hal. 75
[47] Ibid, 83
[48] J. C Van Leur, Indonesian Trade and Society, KITLV, Den Haag, 1967.
[49] Armando Cortesao, The Suma Oriental of Tome Pires, Hackluyt, London, 1994. Hal. 239
[50] Antony Reid, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450 – 1680, Yayasan Obor, Jakarta, Hal 7.
[51] Poesponegoro Marwati Joened, Sejarah Nasional Indonesia II, Balai Pustaka, Jakarta, 1984, Hal. 79
[52] Benjamin , On Being Tribal in the Malay World.” In Tribal Communities in the Malay World: Historical, Cultural and Social Perspectives, edited by Geoffrey Benjamin and Cynthia Chou. Leiden/Singapore: International Institute for Asian Studies/ Institute of Southeast Asian Studies, 2002, Hal. 6
[53] Slamet Muljana, Sriwijaya,  Penerbit, LKiS, Yogyakarta, 2008, Hal 107-119.
[54] Sartono Kartodirjo, Sejarah Indonesia, Depdikbud, Jakarta, 1986, Hal 109
[55] Slamet Muljana, Menuju Puncak Kemegahan Majapahit, Penerbit LKiS, Yogyakarta, 2005, Hal. 173
[56] D.G.E Hall,., 1968, A History of South-East Asia, St. Martin’s Press, New York, p. 12. Terjemahannya dalam bahasa Indonesia, D.G.E. Hall, Sejarah Asia Tenggara, 1988, diterjemahkan oleh I.P. Soewasha dan terjemahan disunting oleh M. Habib Mustopo, Surabaya: Usaha Nasional.
[57] Musri Nauli, Pengaruh Hindu dalam Seloko Melayu di Hulu Batanghari, Jurnal Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Riau, Volume 4 No. 2 Februari – Juli 2014, Pekanbaru.
[58] Ach. Dhofir Zuhri, Sebuah pergulatan Menuju Manusia Paripurna, Madani, 2013, Surabaya, Hal. 57.
[59] Barbara Watson Andaya, Hidup Bersaudara – Sumatra Tenggara Pada Abad XVII – XVIII, Penerbit Ombak, Yogyakarta, 2016, hal. 57
[60] M. Yahya Harun, Kerajan Islam Nusantara Abad XVI – XVII, Penerbit Kurnia Kalam Sejahtera, Yogyakarta, 1995, Hal 85 – 86
[61] M.A.P. Meilink-Rolefzs, Asian Trade and Europan Influence, Martinus Nijholf, Den Haag, 1962, Hal 90 – 91
[62] E. Gobbe dan C. Adriaanse, Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889 – 1936, Penerbit INIS, Jakarta, 1990. Lihat juga Surat Sultan Jambi (1858) kepada Khilafah Utsmaniyah yang menyebut sebagai Sultan Islam dan kaum muslim, khalifah Allah yang melancarkan Jihad Fisabillilah, penjunjung Syariah dan pengabdi dua tempat Suci. Surat yang dikirimi oleh Sultan Jambi juga menyebutkan berisi permintaan bantuan menghadapi Belanda.
[63] Armando Cortesao, The Suma Oriental of Tome Pires, Hackluyt, London, 1994. Hal. 243
[64] Elsbeth Locher-Scholten, Kesultanan Sumatra dan Negara Kolonial: Hubungan Jambi- Batavia (1830-1907) dan Bangkitnya Imperialisme Belanda, terj. Noor Cholis, (Jakarta: KITLV dan Banana, 2008). hal 39
[65] Di dalam naskah, sebenarnya, tidak terdapat penyebutan tahun. Data tersebut adalah rekaan dari J. Tideman dan P. L. F Sigar, Djambi, Kolonial Institutt, 1938.
[66] G. J. F. Biegmen, 16 Tjerita , Tertjitak di Bandar Betawi, Pertjitakan Gobernemen, 1894, Hal. 5
[67] Sebagaimana disampaikan oleh Barbara tentang rasa kagum kepada Penduduk Jambi yang tetap merawat pengetahuan yang disampaikan dengna bertutur (oral tradition).

Pos terkait