Puisi-puisi Muhammad Husyairi – Jambi di Angsoduo.net |
Puisi-puisi Muhammad Husyairi (Ari Mhs Cekgu): Bayang Terakhir
Bayang Terakhir
kalau camar terbang ke laut!
tanda malam memanggil kau
berdiri di atas ombak, kapal terakhir menuju pantai
begitupun aisyah, menggali pasir di kegelapan
mencipta lorong persembunyian
tak perlu takut, sebab lorong tempat bermain kanak-kanak
awal berlayar ke laut lepas
bermain di pantai bertemu batu hitam
langkah tak boleh surut tanda malam akan kandas
bila tercium aroma bangkai, jangan panik
berjalan tenang menuju fajar, ada taman di sana;
mawar, melati, dan kupu-kupu bermain mentari
lindap di bayang-bayang tergerai di pasir-pasir
begitulah aisyah, aku dan kau tinggal bayang
Menunggu Reda
kapal berlayar sarat angin buruk, laut pecah
penuh darah serta gerimis, langit layu
sesekali kilat lalu redup
kenapa berlayar? di udara busuk
ikan-ikan ketakutan siapa dulu berlayar (?!)
kepala atau camar hitam!
di kapal ada pesta, mulut penuh warna dan bunga kamboja
sekuntum terselip di picu senjata tak henti merekah,
ada canda kapal asing; satu ke batu-batu beberapa kandas di kepala
asik-masuk, teluk rimba raya
ular bersarang di dahan menjulurkan lidah
tapi laut tak muntah! padahal bunga rotan dan ikan kecil busuk di batu-batu
anyir, lumba-lumba mimpi di goa
Pulang Sia-sia
pulang, mengejar bulan penuh rimba
gerimis hitam di genggaman mengucur sepanjang jalan
pohon-pohon angkuh menjulang
tempat berdiam cerita angker;
– bulan dimakan raksasa
dan gerimis beraroma kamboja
hubungan mistis antara belukar dan goa lembab
pulang? malam mengejar bulan penuh rimba
makhluk halus yang berjalan sepanjang gelap
menyusuri bukit dan batu merah
dan kelelawar berputar di kepala
terbang ke rongga-rongga bergantung di dinding basah
tempat persembunyian penuh rahasia
pulang! bulan sangkut di dahan
cahaya merah yang terpendam berabad-abad
sebuah hembusan berdesir lewat tanah basah
Waktu Sudah Dekat
kapal pecah! mak menyebut kamarku
sebuah ruang imaji yang liar
kapal kecil berlayar liar ke arahmu
tempat membaca laut
bertahun kembang api meluncur dari mulut kanak-kanak
kapal pecah! mak bercahaya di langit
betapa laut begitu luas (?) tak cukup waktu mengarung
di kapal, anjing menggonggong di lemari batu
dinding hitam banyak gambar; bebek, ayam, kucing
semua bermata gelap
kapal pecah! mak melihat kamarku
sebuah ruang imaji yang liar
kapal kecil berlayar liar menujumu
di kepala beterbangan kupu-kupu hitam
hinggap di hutan bersarang di goa-goa
malam sudah dekat! bila kelaut lepas?
kapal kecil berlayar liar pecah di lautan
Wajah Kaca
tak ada lagi cahaya berkabar
dari wanita-wanita hamil dikurung kaca
udara buram telah merampas bayi-bayi
yang lahir di matahari, terpantul malu-malu
dari jendela yang menghadap ke rimba
buah dada menganga
cahaya merah yang merambah bukit
membiarkan orang-orang berjalan
dengan menancapkankan jemari pucatnya
warisan para pemabuk di kota
meracau dari gedung ke gedung
sambil menenteng kepala sendiri
sebuah dongeng terpaksa kita dengar
lewat pengeras suara;
– negeri yang menyulap ribuan mesjid menjadi pekuburan
tempat orang-orang hilang,
atau bersembunyi di tiang-tiang listrik (?)
lagu lirih dari gereja yang terbakar
kabar dari jendela basah
……yang pasti orang-orang hilang
bercahaya di lembah
daun jendela yang berkabar ini
bulan yang jatuh di kelopak matamu
berupa hembusan dari dongeng-dongeng purba,
cahaya pucat yang berat
merambah lembah dan tanah basah
atau batu hitam menganga;
– berputar di atasnya udara lembab
dengan mantra hitam di bibir,
peristiwa ziarah dari wajah-wajah terkubur
untukmu, jendela basah,
embun yang turun ditengah bintang gerimis
sebuah kabar keruntuhanmu,
serupa daun-daun melambai
menjelang malam rontok
Rindu Bulan Ingin Tidur
malam, mulut yang berombak itu
menderu ke udara terbuka
wajah-wajah tiang listrik menyengat
bintang berloncatan antara mata dan terali besi,
hewan liar perempatan, kelelawar yang gamang simpang
tak bertemu jalan terbuka kecuali terbang ke langit,
mungkin bulan tempat terbaik cahaya pucat pekuburan
sebagai rumah terakhir, bulan tak ada lampu warna-warni
hanya lorong tersembunyi,
mulut yang bergelombang sebuah kota tengah malam
ditumbuhi tiang listrik dengan voltase tinggi,
keluar darinya aroma sampah dari bulan terbuka
jadi pamflet dan merek dagang
inilah iklan bertengger
di bibir pemabuk banyak warna
warna kota dari kembang api yang terbakar
Perjalanan di Lembah Sunyi
bulan yang bergantung di akasia
sebuah perjalanan malam di atas bukit
cahaya yang merambah lembah
dengan kesunyian hitam yang tawar
serupa belukar berdesir
lewat gerimis ditengah hutan
makhluk yang berdiam di gunung merah
batu hitam yang menganga di tanah basah,
malam menjelang langit bercahaya,
batu menggelinding dari bukit-bukit
hewan liar yang mengendap-endap di lembah-lembah hitam
menghembuskan angin basah ke dalam goa
berupa do’a-do’a merambat dingin dari kegelapan
mendesis dimalam yang tenang
Janji Tinggal di Rumah Sendiri
sumur tua tak berair ini
tempat pidato-pidato yang merantau,
sumur tua, mungkin sebaya
rumah urban dan catatan sejarah
sepasang sandal lelah di dapur
sebagai menu keseharian,
bumbu masak ala perancis, india, dst.
pedaskah irak? atau bawang putih yang dipecundangi,
hikayat karibia dengan cerita anak-anak;
– orientalis yang memuja baja
negeri dengan beribu tangan besi
tergetarkah kau! sumur tua menganga di tanah basah
dan rindu-rindu lumut mencari-cari cinta dalam susunan batu-bata,
situs dikurung malam dari peninggalan sabak
yang dipecah-pecah nasibnya,
atau sebuah lorong persembunyian
tempat bersarang laba-laba hitam
dengan janji bertemu di dasar gelap
membangun kubur sendiri tanpa khotbah kematian
Estabilish
ketika kau terbangkan burung-burung ke bukit
udara lembab menyergap bibirku
sayap rebah yang menyusuri lembah
tak perlu batu diperdebatkan
sebab batu seonggok bara menyakitkan
hawa hitam menguasai berupa hembusan jahat
yang bertanam di rimba;
– tumbuh darinya pohon-pohon angker
dan daun-daun yang memanggil dari kegelapan
kengerian purba! srigala liar melolongi bulan buram
liurnya menetes di pekuburan,
dan aku tak hendak ziarah
karena burung-burung yang kau terbangkan
bulu-bulu rontoknya menyergap kudukku
Dua Saudara Hilang di Saat Gerhana
boleh teriak di sini, di samping bulan
bekas mesjid terbakar sehabis cahaya pucat
menjalar dari jari seorang serdadu,
jari pertama yang menerbangkan sepasang merpati muda
ditengah bulan kenangan
bayangan dua saudara hitam saat gerhana, malam
menjelang bulu-bulu rontok dan gerimis;
– rindu bersayap angin dingin
menghubungkan tepi impian lelaki dan adik perempuannya
di jembatan berair, darah
yang terkepung di tengah kota
mengalir ke sisi kota lain, sebuah lorong
ya, lorong impian panjang: tempat do’a-do’a mengerang dalam gelap
dan mata layu jatuh di genangannya,
dan peristiwa rahasia itu tersembunyi apik
di bibir pucat seorang ibu yang gemetar
memanggil nama anaknya di dada seorang prajurit
ekstradisi di lembah-lembah hijau
hai kondor, mari kita sunatan massal
ke meja-meja perundingan
kulit kemaluan kita buang sedikit
biar lepas noda-noda yang bikin kita berdarah
sebagai genangan memabukkan di kota
sunatan massal ini kemaluan-kemaluan
yang kita terbangkan sepasang merpati putih tanpa bulu-bulu rontok
sebuah janji untuk membuat sangkar sendiri
di lembah-lembah hijau yang subur, antara tigris dan eufrat
merpati putih bebas memilih sarangnya,
dan dari kairo ke damaskus sayap-sayap rebah dijadikan perjanjian
dengan tidak melihat burung masing-masing
sebagai kemaluan purba di baghdad
Surat Cinta Lelaki Terakhir Sehabis Berjanji
– rindu, sebuah kapal
dengan gelombang aneh di geladaknya
tinggal di rumah tak berpenghuni
hanya memindah-mindah ruangan
dari raungan-raungan ke surat cinta;
menulis rindu seekor kepiting menggali-gali pasir
sebagai rumah sendiri di tepi ombak yang lelah
deburan-debuaran yang selalu berhenti di tebing curam
merupakan sepasang sepatu tua menganga di pantai
menunggu gelombang meradang
pada tingkap gelombang itu sampai ke bibirnya
teriakan-teriakan yang merembes di pasir
telah mengalir kembali kelaut
tepat disaat camar tiba di sarangnya
jejak terakhir: rumah di kedalaman samudera
langkah dari perjalanan yang tak kenal surut;
– mendaki bukit-bukit terjal
menuruni lembah-lembah bergoa
membawa kaki ke dalam rumah tak berpenghuni
sambil menenteng sepatu tua yang hampir tenggelam di pantai,
rumah ini, menunggu tirai-tirainya dihembus angin basah
sebuah perjanjian dari pelayaran yang berpedoman cahaya
telah disepakati, datang ke kamar di sisi pembaringan
dalam bentuk senyum kekasih
Di Depan Café Dangdut Sebuah Mesjid Terbakar
:teringat aku seorang lelaki arab
pesawat tempur yang menjejali kepala kita
terbang seperti cahaya, api yang membakar rumah
ketika kita terlelap ke dalam semangkuk sop panas
di depan sebuah cermin: wajah tinggal mata!
sebuah kaca buram yang melintas setiap kali peluru berdesingan
bayangan yang kita sendiri takut melihatnya
tapi api bukanlah cahaya;
– membara di lembah-lembah hijau
tempat seorang sufi tua yang menengadahkan tangannya
ke langit menundukkan wajahnya setara pohon-pohon
memandang pucuk indah dari embun yang turun
serupa bulan bergantung pada malam-malam panjang
saat do’a-do’a merambah kesunyian, pohon-pohon korma berkhotbah di gurun:
“lelaki lembah tigris itu buah korma yang bergantung di bulan”
dalam hitungan detik semua bisa terbakar
sebuah pot di depan pintu taman
yang dijaga jemari kekasih pun hangus sudah
Rindu Jembatan
– peremajaan kembali kesadaranku
membayang sebilah baja berkilat di lehermu
pedanglah namanya rindu menebas malam perih
getir pohon liar bertumbangan, susunan tubuh kecewa
seperti sehabis berlari mengitari bukit,
pada saat sedih pohon tua yang rebah
aku menitinya sebagai darah pekat di dahi
mengucur sepanjang pelarian ini
tepi impian burung gagak yang nanar dalam gelap, mengintai;
– tanah basah, bulan, dan akar melilit mangsa yang mengendap di dahan
melambai-lambai dari tengah hutan
dan lengkaplah derita bukit-bukit gundul dalam geram tebing curam
saat do’a-do’a air bah pedih pohon-pohon tersungkur
Di Bawah Kebesaran Sebuah Bangsa
: ada lorong bawah tanah,
orang-orang bergerak tanpa alas kaki
burung-burung terbang ke batu-batu
sebuah perjalanan malam di rimba
burung liar yang bersarang di dahan
melambai-lambai dari kegelapan
sayap rebah itu, batu yang menggeram berabad-abad
tugu dari perjuangan bulu-bulu yang gugur
inilah wajah persembunyian
lorong berliku tengah hutan
tempat berdiam angin buruk dan makhluk berlendir
peristiwa hitam yang dikepung lembab,
dan udara rontok tersebut merupakan raungan-raungan
sepanjang bukit serta lembah
berupa do’a-do’a melata di tanah basah
desis, merambah
tak ada waktu menunggu
karena pesawat tempur terbang rendah
pelurulah hidup berdesing di jendela
pangkal keinginan melesat ke udara terbuka
sebuah perjalanan api menyembur dari perapian hasrat
yang membara di ruang tamu
: tempat orang-orang menyalakan bom seenaknya
waktu mesin hidup meraung-raung kasar
tembakan nyasar merobek dada lelaki
yang termangu di kamar;
– seorang serdadu yang berkipas di bawah suhu nol derajat celsius
seperti menulis surat cinta kepada penghianat
dan perang tak mungkin dihentikan
maka menyeranglah senjata ini
sebagai benteng keadaan bertahan
Jam Malas Sibuk
sesudah dan sebelum makan siang kerlip matamu
berpendar di ruang tamuku sehabis daun muda gugur
di halaman, hari ini, bertatap muka lagi seperti biasa lewat
di depan rumahmu menjinjing tas hitam
berisi mainan plastik: benda daur ulang
tak juga singgah, lampu pijar dari kamarmu
putus asa memanggil atau aku
membiarkan nasi tergeletak basi dalam lemari sunyi
yang berisi pakaian-pakaian usang, hari-hari mengerikan
setelah tetangga melipat baju ke dalam koper
keberangkatan sebuah jalan melintas di atas cermin
buram sepatu tua terseok-seok ke pintumu;
– beranda, tali sepatu, dan tangan menjulur catatan kecil
sejarah melangkah ke kantormu: tempat pertemuan orang-orang miskin
membahas rindu
Rebung-rebung Hari Pasar
– selebihnya bunga rumput
di tepi kakimu
rebung-rebung dalam baskom hari
pasar sebagai genangan air musim kemarau
apalah arti tubuh masammu
bila isak jadi boneka kancil yang lucu di timang-timang
pada genggam hari pasar yang pahit
sekawanan burung liar hinggap ke warung-warung
nasi: makanan siap saji
tempat pedagang kelana memeras keringat khadijah
– oh, mana istriku itu saat lapar begini –
bau daging panggang menyengat selera
hari panas ini seperti decak senjata
mulut yang melalap sejenis sayuran,
(misalnya; rebung melayu, rebung arab, dan lain-lain)
lahap mengunyah daging dan rasanya,
seorang pengemis tua bekas gerilyawan gerah
menghitung jenis sayuran dari bambu itu
Kita Berada di Dataran yang Sama
kita berada di dataran yang sama
burung kecil di atas dahan
kelabu ketika rembang petang
menjemput segala impian jadi gelap,
bayang hitam bersarang di kepala kita
di saat bulu-bulu gugur dari atas pohon tua
dekat sungai, menjelang pekat:
lintah-lintah mengendap di antara batu hitam
keadaan memaksa kita bersijingkat melewatinya
karena lintah selalu licin bergantung di mulut ular-ular
yang mendesis sepanjang musim;
– menggigit, hisab, kemarau siap menanti
kapan saja kita melalui jalan yang sama
sebuah dataran dari pemburu hewan-hewan bebas
Jembatan Aur Duri
– dibawanya kau
melihat lorong rahasia
paling enak bersunyi-sunyi di jembatan aur duri
di bawahnya batang hari mengalir tenang
membelah kotaku, tempat gerimis berhenti
dari tepi impian angsoduo yang merelakan
bulu putih pasangannya rebah di kecipak air, genangan asin
yang keluar dari tubuh lelaki dewasa
ketika berdesak-desakan dalam bis kota (sebesar biji lada
yang tumbuh di dada seorang satria), angkutan yang membawa pacarnya
ke gemerisik pohon bakau,
mata yang jatuh di atas sapu tangan, sebagai tanda
sudah sampai tujuannya, sebuah tempat lain dekat sungai, jembatan ini, jalan yang menghubungkan lambaian tangan perempuan dan rintik hujan
Selingkuh
– hati-hati para jomblo broker sedang memasak kemaluanmu
setelah hutan terbakar hari-hari pun kering
udara rendah pohon yang garing
di tengah tanah hitam dataran tandus, tubuhmu
menggeliat seperti bangun tidur
di atas kasur busa buatan amerika (empuk,
bikin rasa ingin tidur lagi) peta perjalanan semalam
tergambar jelas di dadamu:
– buah dada impor hasil penyulingan ekstrak cabe
dan pestisida, racun serangga yang melenakan, lebih jahat
dari kutu di rambutmu yang pirang –
warna merah yang samar dan hitam yang kabur
tanda mata kita membara di ranjang hotel ini
(noleh ke kanan, arah matahari terbenam)
o, betapa hidup indahnya pusat di perutmu,
gelinjang syahwat yang tak putus-putus
memelukmu, semakin erat, semakin erat,
semakin erat, sampai putus kutangmu, sampai
putus celana dalammu, sampai koyak dadamu
kugali-gali sampai tertidur (dan pagi, yang
membangunkan hari ini tubuh perempuan
asing memelukku, malu)
Hikayat Mutakhir Cut Nyak Dien
Dalam Perjalanan Mengarungi Colombus
– setengahnya baris antar pulau
dalam mata suami
kecambah, syahwat liar, spilis ini sangat berhasrat
seperti genosid dini hari di kebun cut nyak dien
menebar benih-benih dari ketakutan yang nyeri
tanaman hasil permentasi, pembusukan kacang hijau
sebuah baju almamater dengan topi baja menuai hasil
dari biji khianat, tumbuh berjuta kecambah
pada bejananya yang berisi air, genangan pahit
mengalir sebagai arus pengungsian ke laut-laut;
– muara bayi-bayi mandi di surga –
kapal tangker kelak dijual pengganti sabun perempuan
mencuci pakaian-pakaian sakit hasil kloning hewan
dan manusia, menjadi baja yang berlayar
sepanjang derita ini masih melahirkan jenis-jenis
cacat baru dari tabungnya, rahim yang dibentuk
pemerkosa dan rasa cemburu: oh, pelacurku menyimpan bibit cabe!
kebun yang dibakar senjata ini tengah mengokang anaknya
dalam buaian; “peluru hidupku
melesatlah dari jendela
laut amuk massa
menunggu gelombangmu
bukit jauh, dataran kita
menanti puncak letusanmu, tinggi,
tumbuh, tumbuh, tumbuh,
perang, obsesi, dan neraka pupuk yang membesarkan tanaman pedas itu
dalam jambang kamar janda yang terkenang setiap lelaki bugil
di hadapannya
Dalam Cemburu yang Dalam
– ingin aku melamarmu segera
ingat angin itu berhembus bibirku
tawa jadi dingin dan tawar
masa rebah hati kita buah mangga
yang jatuh di halaman sebelum ranum
bau rumput kering, mangga mengkal,
dan selop jepit, jejak yang terkenang
di gemirisik belukar, ada wajah penuh rahasia
tersembunyi dalam tanah yang di pancang sebatang kayu,
tanda pondok kita (pondok yang kelak tergusur karena pelebaran jalan)
sebagai rumah cinta berdua kayu-kayu taklah abadi
sebelum lebur dengan senyummu yang berbunga
karena hatiku tertawan ketika gigimu yang putih
menggigit rinduku pada kampung halaman,
handai tolan, sanak saudara, kerabat, dan teman mengaji
seperti lebah bergantung di dagumu mati tersengat
madu dalam cemburu yang dalam
Jambi: Buah Musim Panen Kotaku
“upik, upik, bawa angin dong”
(dalam lembaran sebuah kertas putih melayang ke batang hari
saat kecipak air mengganggu dadaku, sebuah kota
yang kerap di pancang pacar-pacar baru)
budak pecah bulu ini sedang geli kemaluan
baca buku porno di jembatan aur duri,
hubungan hatinya yang miang musim panen,
– “leonardo di kopi, o , leonardo di kopi, o , waw” –
bujang lapuk itu sering nongkrong di sawah adik perempuanku
sejak datang bulan ke pangkuannya, seperti purnama kotaku
kembang api yang bertabur pada malam tahun baru
padi-padi bernas gadis desaku menjajakan ibu kandungnya:
– tempat orang-orang di lahirkan dan menggadaikan harta warisan
hasil peninggalan putri pinang masak berupa sekapur sirih
dari tanah pusaka dalam buku diari kekasihku,
“upik, upik, bawa angin dong”
(dalam lembaran sebuah kertas berisi catatan hari
melayang ke gemirisik aur duri, rembang petang
saat burung-burung makan bulir padi di halaman rumahku, lahap)
buah sawo di dahan kupak kulit
sebelum maghrib kelelahan memanggil
kelelawar hitam bersarang di dagingnya
tepat saat burung hantu hinggap dalam kepala;
– “leonardo di kopi, o , leonardo di kopi, o , waw” –
makhluk itu sama ngeri malam yang rakus
menghabiskan sendiri kesunyiannya
seperti kubah mesjid khusuk tersungkur
dalam hening yang tawar
perempuan-perempuanku rebah hati di pembaringan
ketika perjalanan esok jadi dingin dan melelahkan,
“upik, bawa angin dong”
(selembar kertas bergambar jejak melayang ke sungai
sebagai aliran menuju pemberhentian, malam,
sebuah kematian dari warna-warni buah-buahan)
Ayat 1 Menciummu
menciummu subuh ini berbisik
ada hamparan luas di jari-jariku
meremas hatimu berulangkali ku khianati
bila ya merajuk sebuah bibir mendarat di telinga ini
di tepi padang terlipat rayuanku bisa menyakiti
tapi mencekikmu sayang, diam-diam aku jatuh cinta
dari surat yang kau kirim lewat pacarmu
tak berhenti aku merobekmu sehabis kalimat terakhir
pada gurun dan airmata kedua tanganmu terbentang
hukum aku sayang di dadamu dalam perjalanan ini
biar sampai rinduku di kakimu
jambi, 2005
Terapi Satu
kau sayang buah manggis, hans
hitam-hitam muda bulan kenangan
di bawah gerhana jari-jarimu berkilat
buah manggis hans, susah ditebak
seperti kelelawar dan para tunangan
punya kitab sendiri di genggamannya
pabila mati hans dagingku terbakar
dari sebuah kisah yesus
telapak tangan terbuka siapa saja
menciummu berulangkali
terasa semakin dalam
menjemputku malam-malam
kawatir hujan turun
dadamu cair musim buah
bila ingat hans sebuah tangga
mendaki pohon sebuah kamar
jangan lupa aku menunggu
di bawah hari kering
seperti pernikahanku
Ari MHS Cekgu bernama lengkap Muhammad Husyairi. Aktif menulis sejak lama. Cekgu juga salah satu pendiri Angsoduo.net.
Sajak ini tayang di Angsoduo.net pada Oktober 2005.
Kirim cerpe, puisi, esai Anda ke [email protected].
Baca juga : Surat Yasin Beserta Terjemahannya