Oleh : Oga Gandradika Oktavora, SE
Pada pemilihan kepala daerah (pilkada) pada 9 Desember 2020 mendatang, sejumlah calon tunggal di 31 daerah seperti di Medan, Solo, Makassar, Kediri, Blitar, Sungai Penuh dan berbagai kabupaten-kota lainnya diprediksi berpotensi melawan kotak kosong.
Kondisi ini cukup memprihatinkan. Karena bisa menjadi preseden buruk bagi Pilkada dan demokrasi di Indonesia.
Pilkada adalah kompetisi tentang visi dan misi antar Calon kepala daerah. Banyaknya calon tunggal tersebut menyebabkan tidak terwujudnya substansi pilkada.
Karena yang dihadapi kotak, kotak artinya dia tidak punya otak, dia tidak punya visi dan misi, padahal kita punya penduduk terbesar, empat terbesar dunia.
Adanya kemungkinan calon tunggal di daerah 31 daerah tersebut membuktikan bahwa upaya untuk melakukan pendidikan politik, dan demokasi tersebut telah mengalami pasang surut dalam memilih pemimpin masa depan.
Dan ini juga sebagai pertanda demokrasi itu tidak sehat. perlu adanya terobosan yang dilakukan melalui undang-undang yang berkaitan pilkada atau pemilu.
Kian banyaknya calon tunggal tanda demokrasi yang tidak sehat. Turunkan threshold untuk pilkada itu salah satu cara. Syarat 5-10 persen kursi sudah cukup. Itu memudahkan banyaknya partai mencalonkan pasangan.
Apa tidak malu, masa yang menjadi lawan bukan yang berotak, tapi kotak?
Penulis adalah Wartawan